Dark Mode Light Mode
Dark Mode Light Mode
Andra Alodita Menghitung Langkah
Auguste Soesastro Menelusuri Ruang-Ruang Pengembara di Mongolia
Modernitas Klasik Sebuah Hunian

Auguste Soesastro Menelusuri Ruang-Ruang Pengembara di Mongolia

Di bagian barat Mongolia, Auguste Soesastro berefleksi. Dapatkah manusia yang hidup di kota, pindah haluan dan hidup seperti para nomad?

Di bagian barat Mongolia, Auguste Soesastro berefleksi. Dapatkah manusia yang hidup di kota, pindah haluan dan hidup seperti para nomad? Tanpa alamat rumah permanen, tanpa tumpukan barang yang tak lagi terpakai namun punya sejarah tersendiri. Di Mongolia, hidup menjadi sederhana di tengah alam liar.
 

Rasanya tidak berlebihan jika mengatakan seorang Mongol tanpa kuda adalah seperti burung tanpa sayap. Kuda adalah bagian penting dalam kehidupan bangsa Mongol sejak masa penaklukan Kekaisaran Mongol pada abad ke-13 hingga masa kini. Ada lebih dari tiga juta kuda yang hidup bebas di Mongolia. Jumlah yang kurang lebih sama dengan manusia yang tinggal di tanah tersebut. Elizabeth Kimball Kendall yang melakukan perjalanan melalui Mongolia pada tahun 1911, dalam bukunya A Wayfarer in China menyatakan orang Mongol tanpa kudanya hanya setengah orang Mongol, tetapi dengan kuda, ia sama baiknya dengan dua orang lelaki.

Seorang teman bercerita tentang pengalamannya mengeksplorasi Mongolia dan memperlihatkan foto-foto pemandangan yang luar biasa. Itu sudah cukup menggugah hati saya untuk pergi ke sana. Ini memang bukan destinasi liburan yang lazim tapi tidak juga lokasi yang begitu absurd dijadikan tujuan wisata. Semua tergantung tujuan liburan dan apa yang akan kita lakukan di sana nanti. Lagipula Mongolia termasuk daerah yang relatif aman. Saya dan tiga teman pun memutuskan untuk berangkat menjelajahi sebagian Mongolia, di atas punggung kuda.
 
Kami pergi di musim panas. Waktu penerbangan dari Jakarta ke Ulan Bator, ibukota Mongolia, sekitar 11 jam. Dari situ, kami masih perlu melanjutkan penerbangan domestik sekitar 1,5 jam ke Olgii, kota terbesar kedua di Mongolia. Tujuan kami masih jauh, kira-kira enam jam perjalanan lagi ke arah barat Mongolia menggunakan van. Mobil yang digunakan sangat spesifik karena harus melewati jalan pegunungan yang berbatu.
 

 
Menjelang malam, kami akhirnya sampai ke Pegunungan Altai. Pegunungan ini berada di Asia Tengah dan Timur, melintasi Rusia, Cina, Mongolia, dan Kazakhstan. Secara bahasa, Altai (atau sering juga ditulis Altay) berarti gunung keemasan. Kendati ini adalah musim panas, temperatur di malam hari dapat turun dengan tajam hingga 10 derajat Celcius, padahal di siang hari suhu berkisar antara 24-25 derajat.

Advertisement

Di tengah pegunungan Mongolia ini, tidak ada hotel. Pengunjung dapat tinggal di tenda-tenda penduduk. Masyarakat Mongolia hidup secara nomaden atau berpindah-pindah. Karena itu tidak ada bangunan tetap, mereka tinggal di dalam tenda yang disebut ger dalam bahasa Mongolia dan yurt dalam bahasa Turki. Tenda ini unik, berbentuk seperti silinder, dalamnya dilapisi bulu domba sementara di bagian luar tertutup terpal atau kain blacu berwarna putih. Katanya dulu bagian luar pun tertutup oleh kulit namun sepanjang perjalanan ini saya tidak menemukannya lagi.
 
Mereka hidup bersama keluarga besar. Biasanya rumah mereka terdiri dari tiga tenda, salah satu tenda inilah yang kemudian disewakan kepada para pengembara seperti kami. Bagian tengah tenda selalu ada kompor. Inilah jantung dari sebuah hunian di Mongolia bagian barat, tempat seluruh anggota keluarga berkumpul, memasak, dan menghangatkan diri di kala malam. Kami tergolong hidup dalam ‘kemewahan’ karena operator tur kami membangun kamar mandi portable, di saat yang lain hanya digalikan lubang saja.
 

 

 

Perjalanan yang kami jalani diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah biasa berkuda, kalau tidak agak berat rasanya. Setiap hari kami akan menjalani hal yang sama. Makan pagi, berkuda, istirahat makan siang, berkuda kembali hingga sampai di tenda penduduk berikutnya.

Jarak yang kami tempuh dalam sehari kira-kira 40 kilometer. Terdengarnya monoton, hanya itu-itu saja, namun pemandangan yang kami nikmati akan terus berganti dengan sama atau bahkan lebih indah dari hari-hari sebelumnya.
 

Kontur alam pegunungan ini terhitung rata. Sejauh mata memandang kosong saja, tidak ada orang. Rutenya pun tidak ada yang pasti, tidak ada penunjuk jalan apa-apa di sini. Ada jalan yang terlihat lebih botak karena lebih sering dilalui tapi itu pun hanya sedikit kami temui. Di sini, kami bisa bebas melesat kencang ke tengah padang yang lapang. Seorang pemandu mendampingi perjalanan berkuda kami. Ia yang membawa kami melewati jalur yang indah, melewati gunung, hutan, air terjun, serta makam-makam pengembara zaman Genghis Khan dulu. Sangat damai rasanya dapat berada di alam, melihat sekelompok kuda liar berlarian. Tanpa pemimpin, tanpa batas-batas pasti, mereka hanya bercengkrama menikmati kebebasan.
 
Saya sudah berkuda sejak kecil namun kuda-kuda Mongolia berbeda dari kuda yang biasanya saya temui. Secara fisik mereka agak pendek. Mereka pun tidak 100 persen jinak sehingga saya harus lebih berhati-hati. Perlu ada rasa saling menghormati agar mereka dapat menerima arahan. Kuda yang sudah dilatih mengerti gestur-gestur yang biasa dipakai. Dicolek saja dengan dengkul, mereka sudah tahu itu artinya harus berbelok. Namun kuda Mongolia tidak demikian. ‘Berbicara’ dengan mereka perlu gerakan yang lebih keras, seperti gaya koboi.

 

 

 

Dalam konteks pekerjaan saya sebagai perancang busana, perjalanan ini sangat membuka mata karena saya dapat melihat secara langsung kehidupan kambing-kambing kasmir. Saya selalu ingin tahu tentang bahan yang kita pakai. Memang sudah ada film dokumenter tentang itu tapi bisa mengamati proses hidup mereka secara langsung di alam aslinya memiliki pesonanya tersendiri.
 
Dengan mengerti cara hidup orang lain kita jadi lebih menghargai hidup kita sendiri. Itu yang saya rasakan. Kami bisa melihat dan mengalami, walau sekejap saja, hidup yang benar-benar sederhana. Hal ini membuat saya berpikir, dapatkah saya bisa hidup sesederhana ini? Apakah setelah beberapa lama akan merasa bosan karena sudah mengetahui bentuk kehidupan yang lain? Melihat dari perspektif orang luar, kita sering berpikir hidup nomaden itu ‘lucu’. Tapi hidup mereka sangat berat. Banyak kemudahan-kemudahan yang tidak kita syukuri karena sudah begitu adanya. Masyarakat nomaden di Mongolia tidak punya kemewahan berbelanja bahan makanan ke swalayan yang punya pendingin ruangan. Untuk makan, mereka harus mengolah segalanya sendiri seperti memeras susu sendiri lalu diolah menjadi keju. Jika tidak begitu, tidak ada yang bisa mereka makan. Tidak bisa juga meminta ke tetangga karena mungkin keluarga terdekat tinggal 10 km dari tempat tinggal mereka.

 

Sepanjang perjalanan ini, ada satu hal yang tak kalah menyenangkan hati selain panorama yang memukau. Selama delapan hari berkuda di pegunungan, tidak ada sinyal ponsel sama sekali, sehingga saya tidak bisa dihubungi. Tidak ada gangguan dan rasa stres yang tidak perlu. Dulu saya masih merasa bersalah jika tidak dapat dikontak saat berlibur. Waktu liburan pun dibuat beririsan dengan pekerjaan. Alasannya agar tetap produktif. Namun ternyata perlu sekali melepaskan diri dari rutintias dan benar-benar menikmati waktu liburan. Nyatanya, sepulang bepergian kita akan kembali dengan pikiran yang lebih segar dan membawa perspektif baru yang dapat menguntungkan kita di kemudian hari. (Seperti diceritakan kepada Nofi Triana Firman) Foto: Jimmy Goh

 

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Andra Alodita Menghitung Langkah

Next Post

Modernitas Klasik Sebuah Hunian

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.