
Dengan tubuh yang sehat dan bugar, pikiran juga otomatis segar. Begitu pendapat Melanie Kartadinata. Hampir sepanjang hidupnya ia senang bergerak. Dari usia lima tahun, menari balet sudah menjadi rutinitasnya. Pada dasarnya, ia menyukai musik sehingga bergerak mengikuti alunannya seakan telah menjadi bagian dari dirinya. Bentuk tari yang ia pelajari dan praktikkan berubah-ubah mengikuti perkembangan tubuh dan minatnya. Dari balet klasik, Melanie beralih ke jazz balet, modern dance, ballroom dance, tango, salsa, bachata. Hingga kini pun, ia masih menari. Tap dance adalah pilihannya. Jenis tarian ini penting untuk melatih otak, yang memerintahkan kaki bergerak dengan cepat.
Tiga tahun lalu, rutinitas bergerak Melanie bertambah. Tiga sampai empat kali dalam seminggu ia dapat ditemukan sedang berolahraga di Fitness Embassy, sebuah studio kebugaran private di Casagaya, ‘rumah’ one stop service yang dibangun Melanie pada 2017 silam. Bermitra dengan Jansen Ongko, konsultan gizi sekaligus edukator dan praktisi kebugaran, Fitness Embassy melatih para klien dengan program khusus sesuai kebutuhan tubuh mereka masing-masing. Di sini program latihan disusun berdasarkan serangkaian tes yang dijalani klien, baru kemudian program latihan dibuat. Bahkan jika diperlukan, program fisioterapi pun tersedia.
Casagaya terbentuk karena pengalaman Melanie merasa kurang nyaman berolahraga di pusat kebugaran. “Enggak enak rasanya. Setiap kali ke gym, mesti [latihan] kardio gila-gilaan dulu sampai basah kuyup. Kalau tidak begitu rasanya tidak olahraga,” kenangnya. Pemahaman bahwa olahraga harus selalu basah kuyup itu tidak benar, begitu pendapatnya. Latihan yang ia lakukan sekarang tak selalu membuatnya berkeringat. Tapi manfaatnya efektif dirasakan pada tubuhnya.
Misi Melanie membangun Fitness Embassy sederhana, ingin menyehatkan orang-orang di sekitar kita. “Semua pelatih kami punya sertifikat training,” ujarnya. Dari sebuah ruangan yang tak terlalu besar di lantai atas Casagaya, kini Fitness Embassy telah berkembang. Seluruh lantai bawah didedikasikan untuk mengakomodasi klien Fitness Embassy yang semakin bertambah. Saat ini, Fitness Embassy pun punya teman- teman bugar di Casagaya yaitu The Ballet Academy serta studio kebugaran Liza Natalia Arena.

Jika melihat bentuknya saja, evolusi gerak tubuh Melanie tampak bertolak belakang. Dari menari yang dikonotasikan dengan gerakan yang halus, Melanie lalu berlatih di pusat kebugaran yang kesannya keras. Ada kalanya ia berlatih menggunakan beban, bahkan hingga 50 kg. “Dulu otot saya fleksibel. Tapi saya kurang kuat karena enggak pernah dilatih,” ia menjelaskan. Pahanya tidak kuat, perutnya walau kurus tetap tidak ada otot yang terbentuk. “Kurus tapi banyak lemak, lembek. Jadi dulu bergelambir, walau kurus,” Melanie bercerita. Ia menyadari ia harus mulai memperkuat otot. Secara natural, semakin manusia bertambah usia, massa ototnya akan berkurang. Dengan otot yang kuat, risiko cidera di kemudian hari diharapkan akan berkurang.
Persepsinya akan tubuh pun berubah. Tubuh bisa saja ramping tapi ternyata tidak sehat. “Dulu saya hidup untuk makan,” Melanie bercerita tentang masa remajanya. Napsu makannya besar dan olahraga kardio yang dijalani terlalu berat mengakibatkan tubuhnya kelaparan sehingga porsi makannya banyak. Namun yang ada di pikirannya adalah tubuh harus tetap kurus. Jalan pintasnya adalah makanan yang telah dikonsumsinya itu dimuntahkan. Problematika ini lama kelamaan pun pulih. Seiring berjalannya waktu, pemahamannya akan tubuh sehat terikut serta. “Olahraga itu bukan untuk kurus, tapi untuk bugar. Lama-lama, saya sayang dengan badan saya. Ada rem di otak saya, apa yang saya makan, yang berguna untuk badan.” Namun, jika satu hari ia ingin martabak, ia akan memakannya. Tapi satu potong saja. Ia juga memperhatikan waktu istirahatnya setidaknya tujuh atau delapan jam setiap malam.
Selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Melanie tak berhenti berolahraga. Sekitar satu jam ia berlatih di gym kemudian berenang selama 30 menit. Seperti juga banyak orang yang menemukan kesenangan baru selama berkegiatan di rumah saja, Melanie juga punya hobi baru yaitu berkebun. Ia terinspirasi setelah melihat akun Instagram Meira Anastasia, penulis dan istri Ernest Prakasa. “Nanti di gym juga saya mau isi tanaman-tanaman yang bisa dimakan,” ujarnya. Kendati tetap banyak berkegiatan, Melanie mengaku sangat menikmati waktunya di rumah saja. “Saya menikmati perubahan ini.” Perubahan yang paling terlihat adalah soal berpakaian. Jika dulu ia harus rapi ketika menghadiri acara-acara, sekarang ia senang bisa bersantai, memakai daster atau celana pendek dan kaus. Jika ingin berdandan, ia akan melakukannya, walau di rumah saja. “Nanti tangannya kaku, lupa bikin alis,” kelakarnya.

Di akun Instagramnya, Melanie belum lama ini mengunggah videonya melakukan handstand. Menyertai video itu, ia menulis bahwa ia tidak pernah berpikir berani melakukan hal itu apalagi di usia yang sudah tidak muda lagi. Tahun ini Melanie merayakan ulang tahunnya yang ke-51. Tanpa sadar latihan rutin saya membuahkan hasil, begitu tulisnya.
Bisa melakukan handstand diakuinya bukan tujuan utama. Tapi merupakan pencapain yang patut diacungi jempol. “Umur segini takutnya ada yang keplitek, cidera. Bagaimana tangan bisa menyangga [beban] 53 kg badan saya?” itu yang ia pikirkan dulu. Jawabannya tentu dengan berlatih. Sekarang, karena bahu, tangan, perutnya sudah kuat, tangannya pun kuat menyangga tubuh. Latihan rutinnya pun dirasa membawa napas segar pada penampilannya. “Timbangan sama dengan dulu tapi [tubuh lebih] padat.”
Manfaat latihan rutinnya juga dirasakan Melanie ketika menjalani hobinya yang lain, yaitu naik gunung. Kegiatan ini memang baru mulai ia lakukan dua tahun tahun belakangan, namun telah menjadi bagian dalam hidupnya.
Setidaknya dua bulan sekali ia akan mengeksplorasi pegunungan. Hingga kini, telah 13 gunung ia kunjungi. “Awalnya saya diisengi oleh teman-teman SMP dan SMA,” Melanie bercerita perihal awal ia naik gunung. Dari kecil, ia mengaku, tidak pernah ikut kegiatan luar ruang seperti teman-temannya yang lain antara lain pramuka dan berkemah. “Kata mereka, tidak mungkin Melanie bisa tidur di tenda. Saya justru tertantang mendengarnya,” katanya. Dan ternyata, ia menjadi jatuh cinta dengan kegiatan outdoor yang membutuhkan kekuatan fisik itu. “Naik gunung berat, kalau fisiknya enggak kuat, berat,” ujarnya.
“Tidak ada kata terlambat untuk olahraga,” ujar Melanie. Hal yang satu itu baginya lebih dari sekadar gaya hidup, sudah seperti bernapas. Olahraga adalah kebutuhan hidup. “Ibu saya baru kembali mulai olahraga lagi di usia 75,” ia bercerita. Sang ibu, Lanny Gumulya, bukan orang yang asing untuk urusan olahraga. Di tahun 1962, Lanny meraih medali emas dalam bidang olahraga loncat indah di ajang Asian Games. “Namun setelah menikah, punya enam anak dan mengurus mereka, enggak pernah olahraga.” Sekarang di usia senja, sang ibunda pun kembali rutin berolahraga. (NOFI TRIANA FIRMAN) Foto: Dok. Pribadi