Dark Mode Light Mode
Dark Mode Light Mode

Dominasi Maskulin di Ranah Feminin

Secara global, desainer perempuan masih menjadi pelaku minoritas dalam industri mode yang secara mayoritas menyasar perempuan sebagai konsumen utama. Kemampuan berbagi peran dalam skala domestik, manajemen stres dan pekerjaan, serta pengembangan tim pendu

Nama Non Kawilarang, Elsa Sunarya, dan Elsie Iskandar relatif tidak lagi dikenal pecinta mode Indonesia saat ini. Pada era 1960-an hingga 1980-an, nama-nama itu merupakan perwakilan dari desainer-desainer perempuan Indonesia yang muncul dengan beragam karya dan gaya.

“Mereka merupakan desainer yang cukup diperhitungkan pada masa itu,” kata Ketua Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) Sjamsidar Isa pada Dewi. Non Kawilarang misalnya, memilih untuk menjadi desainer made to order. “Dulu, belum ada ready to wear. Mereka yang menginginkan baju Tante Non harus mendatangi butiknya,” kata Sjamsidar. Irma Hardisurya menjadi salah satu orang yang pernah mengenakan gaun karya Non Kawilarang yang punya latar pendidikan mode di Belanda dan Hong Kong. Dalam ajang Miss International 1969 di Tokyo, Irma yang mewakili Indonesia di ajang itu terlihat mengenakan gaun empire, dengan sentuhan bahan chiffon dan manik-manik pada pinggang rancangan Non Kawilarang.

Non Kawilarang pada masanya, merupakan desainer Indonesia yang menjadi tempat berguru banyak tokoh mode Indonesia sekaligus pionir dunia mode Indonesia selepas era Peter Sie. Tercatat Ramli, Poppy Dharsono, hingga Iwan Tirta pernah menjadi desainer yang dibimbing oleh Non Kawilarang. Sedangkan Elsa Sunarya dan Elsie Iskandar masing-masing dikenal sebagai desainer Indonesia yang memadukan wastra Indonesia dengan desain modern dan juga koleksi bridal kualitas ekspor.
 

Advertisement

Menurut Sjamsidar, jumlah desainer perempuan di Indonesia sejak sejak periode Non Kawilarang memang tidak banyak. “Selalu lebih timpang dibanding yang pria,” kata dia. Fenomena ini sejalan dengan temuan global Business of Fashion pada 2016. Dari empat pekan mode dunia pada musim semi dan musim panas 2017, tercatat ada 371 desainer yang menangani 313 jenama mode. Dari jumlah itu, hanya 40% desainer wanita yang tercatat.

Temuan menarik lainnya juga dirilis oleh Council Fashion Designer of America, Glamour, dan McKinsey pada 2018. Dalam laporan bertajuk The Glass Runway, terungkap bahwa 100 persen perempuan yang diwawancarai mengatakan kalau ada permasalahan yang tidak berimbang dalam industri mode. Di sisi lain, tak sampai setengah responden pria yang mengafirmasi hal serupa.

Padahal, jumlah lulusan sekolah mode didominasi oleh perempuan. Di Parsons School of Design New York, 85% lulusan mode merupakan perempuan. Jumlah serupa juga ditemui di Fashion Institute of Technology (86%), dan Pratt Institute yang meluluskan 54 perempuan dari 58 peserta jurusan mode pada 2018. Sayangnya, banyak dari lulusan tersebut yang tidak mampu mencapai puncak kariernya, entah dalam perusahaan mode global ataupun dalam pendirian label mode independen, rasio perempuan sebagai pucuk pimpinan dirasa kurang jika dibandingkan laki-laki.

 

Permasalahan di Indonesia, tentunya lebih kompleks jika dibandingkan yang terjadi pada tataran global. Pemahaman terhadap mode sebagai bisnis yang penuh dengan liku manajemen seringkali luput dari perhatian calon desainer yang tengah menempuh pendidikan. “Kesulitan utama dalam menjalankan bisnis sebagai desainer, terutama desainer yang independen, umumnya terletak pada sisi bisnis, manajemen dan keuangan,” kata desainer Rinda Salmun. Rinda yang merilis Rinda Salmun sejak 2010 mengatakan kalau kurikulum dalam sekolah mode seringkali memberikan penekanan khusus pada pengembangan ide dan konsep yang kuat.

“Sementara untuk menjalankan bisnis mode, yang sebetulnya sama dengan lini bisnis lainnya, pengetahuan tentang manajemen perusahaan, permodalan, perpajakan dan sebagainya juga penting untuk diketahui, dan kurangnya pengetahuan akan hal itu di awal-awal mendirikan brand ini cukup menghasilkan banyak sekali proses trial and error,” kata Rinda.

Bagi Peggy Hartanto, lapisan permasalahan utama bagi desainer independen justru terletak pada kurangnya pengetahuan dan dukungan industri yang memadai untuk bersaing pada pasar internasional. Permasalahan seperti sulitnya mendapatkan material yang berkualitas di dalam negeri dengan kualitas tertentu, hingga kini masih menjadi hambatan. Secara manajemen, Peggy termasuk cukup beruntung, karena sejak awal punya tim yang kuat dalam pengelolaan bisnisnya. Lydia Hartanto dan Petty Hartanto, dua saudari Peggy, ikut serta dalam bisnisnya sejak awal. Lydia menangani manajemen bisnis, dan Petty mengatur visualisasi brand ini beserta pesan utama yang ingin disampaikan.

Baik Rinda Salmun dan Peggy Hartanto sama-sama mengatakan kalau perempuan memang seringkali punya peranan lain yang tak kalah sentral dalam keluarga dan tak jarang bersinggungan satu dengan yang lainnya. “Tentunya masing-masing punya skala prioritas yang seringkali inginnya selalu seimbang, namun ada kalanya juga faktor usaha menjadi penghambat bagi faktor tugas sebagai ibu, dan sebaliknya. Namun bagi saya, tujuan utama saya untuk tetap menjaga keseimbangan ini agar usaha berjalan lancar, dan di lain pihak anak-anak juga tetap terpenuhi semua kebutuhannya,” kata Rinda yang juga ibu dari dua anak ini.
 

Menurut Peggy, bagaimanapun di Indonesia masyarakat masih memiliki pandangan yang cukup tradisional tentang perempuan setelah menikah, dan ini bisa menjadi halangan bagi desainer perempuan Indonesia. “Masyarakat masih mengharapkan kalau perempuan harus tinggal di rumah dan merawat anak-anak saja setelah menikah,” ujar Peggy. Anggapan semacam ini, jamak terjadi, dan banyak desainer perempuan yang kemudian memutuskan untuk berhenti berkarya hanya karena hal tersebut. “Belum lagi, pekerjaan desainer itu membutuhkan manajemen stres yang sangat baik,” jelas Sjamsidar.

Pasalnya, seorang desainer butuh komitmen 24 jam untuk menciptakan visi kreatifnya dalam merancang koleksi. Di era digital yang semakin cepat, permintaan atas hal-hal yang baru seringkali menekan mereka. Ini belum ditambah lagi dengan beban pikiran urusan keluarga yang tentu juga menyita waktu. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga secara global menjadi tantangan desainer perempuan di mana saja.

I think it is a personal choice – apakah perempuan setelah saatnya tiba akan memilih antara karier atau keluarga; dan apakah pilihan tersebut akan berpengaruh pada kariernya atau tidak. Atau apakah hal itu merupakah pilihan atau tidak. Atau mungkin dia bisa melakukan keduanya. Salah seorang dari kami baru-baru ini memiliki bayi dan dia memilih untuk tetap terlibat dalam bisnis dan mengurus bayinya secara bersamaan. Ini bukan keputusan mudah dan akan menjadi perjuangan harian bagi dia. Tapi perempuan itu kuat dan mereka akan bisa menjadi apapun yang mereka mau. Kerja tim dan pendukung yang kuat menjadi kuncinya,” kata Peggy.
 

 

Kesulitan-kesulitan itu sesungguhnya bukan halangan dan telah dibuktikan oleh banyak desainer perempuan Indonesia sebelumnya. Sjamsidar mencontohkan nama Ghea Panggabean yang masih eksis hingga kini. Ataupun nama-nama lain seperti Mel Ahyar dan Stella Rissa yang perlahan tapi pasti mulai membangun tim yang kuat untuk mendukung bisnisnya.

Menurut Direktur Program Jakarta Fashion Week Zornia Harisantoso, jumlah desainer perempuan ataupun pemilik label mode lini independen saat ini sebenarnya sudah bertambah banyak. “Terutama mereka yang memilih lini modest wear,” kata dia. Dua kompetisi desain mode yang berada dalam naungan JFW, masing-masing Lomba Perancang Mode—yang dilaksanakan sejak 1979 dan Lomba Perancang Mode Menswear masing-masing juga didominasi desainer perempuan.

“Dalam tiga tahun penyelenggaraan Lomba Perancang Mode Menswear misalkan, dua pemenang utamanya adalah desainer perempuan. Pesertanya pun juga lebih banyak perempuan,” kata Zornia. Selain itu, kebanyakan peserta sekolah mode di Indonesia juga didominasi oleh perempuan. Sebagian dari mereka merupakan perempuan yang memilih untuk mencoba karier kedua sebagai desainer usai berkeluarga.

Hanya saja, ia membenarkan kalau ada banyak kisah desainer perempuan yang kemudian harus menghentikan langkahnya sebagai desainer mode dengan beragam alasan. Mulai dari memilih tanggungjawab untuk mengurus keluarga, merasa kariernya tidak lagi relevan, atau sekadar merasa cukup dengan pencapaian yang sudah dimiliki sebelumnya.

Konsistensi dalam berkarya untuk terus bertahan dalam bisnis mode menjadi kata kunci yang seringkali menghantui desainer perempuan. “Komitmen yang kuat harus sangat disadari jika seseorang menginginkan karier dalam bidang ini,” ujar Zornia. Tanpa komitmen yang kuat untuk mencapai karier dalam bidang mode, tentu akan banyak kisah lain soal desainer perempuan yang menyerah di tengah jalan.
 

Banyak desainer perempuan yang menyerah karena tidak siap dengan tekanan kerja desainer yang cukup tinggi. “Masyarakat masih melihat citra seorang desainer itu adalah pekerjaan yang glamor,” jelas Zornia. Padahal, ada banyak hal yang perlu dilakukan seorang desainer dalam waktu singkat dalam kerjanya. “Sehingga, saat mereka mulai menjalani pekerjaan sebagai desainer banyak yang kaget dan merasa lelah. Karena dianggap tidak sesuai dengan bayangan mereka pada awal membangun karier,” kata dia.

Di sisi lain, Zornia juga melihat ada banyak desainer perempuan yang kadang butuh afirmasi soal pilihan karier mereka. Mengikuti kompetisi dan ajang mentoring, bagi sebagian dari mereka, merupakan suatu jalan untuk mengafirmasi pilihan karier tersebut. Di Indonesia, karier desainer perempuan dinilai punya cukup banyak harapan. Apalagi, ada perubahan pandangan yang cukup drastis soal peran perempuan dalam berbagai bidang.
“Saya merasa cukup beruntung dapat masuk ke dalam golongan kaum produktif pada era sekarang, dimana isu kesetaraan gender dan feminisme merupakan hal yang kian diangkat dalam berbagai wadah, baik itu media, film, musik, dan pastinya mode,” kata Rinda. “Kini perempuan lebih berani menyuarakan ide, menyuarakan kesetaraan dalam berbagai nilai kehidupan, dan sosok-sosok perempuan berani, androgini, feminin tetapi maskulin, kuat, dan cerdas dengan berbagai jenis kulit, ras, dan ukuran bukanlah hal yang dianggap asing lagi, apabila dibandingkan dengan beberapa dekade yang lalu.”

Biarpun secara global industri mode didominasi pria, desainer pria dan desainer perempuan masing-masing memiliki perspektif unik yang bisa dibilang saling melengkapi. “Saat desainer perempuan menciptakan pakaian, kebanyakan dari mereka menciptakan sesuatu yang ingin mereka pakai. Sementara itu, desainer pria kebanyakan membayangkan sosok wanita yang akan mengenakan rancangan mereka, itu biasanya bisa saudara perempuannya, ibunya atau bahkan selebritas idolanya,” kata Sjamsidar.

Rinda mengatakan hal yang serupa. Kemampuan untuk melihat pada dirinya sendiri untuk memakai pakaian yang dia inginkan menjadi poin lebih sebagai desainer perempuan. “Ini merupakan nilai tambahan ketimbang desainer pria yang umumnya mungkin tidak memiliki akses untuk mengenakan sendiri gaun rancangannya. Namun subjektivitas ini bisa juga menjadi bumerang, karena desainer pria mungkin dapat melihat suatu rancangan secara lebih obyektif dan secara keseluruhan,” ujar Rinda.

Sedangkan bagi Peggy Hartanto, desainer pria biasanya merancang apa yang mereka inginkan perempuan pakai. “Keduanya punya perspektif yang berharga untuk ditawarkan. Bagaimanapun, desainer yang paling sukses kalau menurut kami adalah desainer yang mampu mengerti kliennya dengan baik, tak tergantung gendernya,” kata Peggy.

Pada akhirnya, konsumen memiliki pilihan yang berbeda-beda. Di Indonesia setidaknya ada sinyal positif bagi desainer perempuan untuk bisa lebih diterima dan lebih sukses lagi di masa depan. “Klien sudah lebih pandai dan lebih memilih desainer yang cocok untuk personality mereka dan apa yang mereka perlukan, tanpa melihat gender dari desainer tersebut,” kata Peggy. (SUBKHAN J. HAKIM) FOTO: JFW, ISTIMEWA.

 

 

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Jejaring Dampak Empat Perempuan Muda

Next Post

Tak Punya Gejala, Idris Elba dinyatakan Positif COVID-19

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.