Dark Mode Light Mode
Dark Mode Light Mode

Semai dan Tuai, Menilik Tren Urban Farming di Tengah Pandemi

Apapun tujuannya, entah untuk ketahanan pangan atau kebahagian diri sendiri urban farming makin bertumbuh di tengah pandemi.

Seorang petani kota masih ingat benih pertama yang ia tanam di balkon rumahnya. “Tomat yang saya tanam berhasil tumbuh dengan sebagaimana mestinya,” kata Sita Pujianto praktisi urban farming yang juga aktif dalam komunitas Jakarta Berkebun. Ternyata, setelah mengikuti Akademi Berkebun di komunitasnya. Barulah ia tahu, bahwa ia menggunakan media tanam yang salah. Kini ia telah menanam banyak tanaman, mulai dari berbagai macam sayuran, bunga, hingga buah Murbei. “Saya berkebun sejak 2013. Kini, dalam masa pandemi banyak orang yang mulai tertarik berkebun. Bisa dilihat dari postingan orang-orang di sosial media yang memperlihatkan tanamannya. Ada juga beragam kelas online yang bisa diikuti,” ujar Sita.

Dilansir The New York Times, orang-orang yang membeli benih apakah mereka tukang kebun rumahan atau dokter hewan berpengalaman, mereka ingin memelihara sesuatu selama masa isolasi di tengah wabah COVID-19 atau untuk sekadar mengisi kekosongan yang disebabkan oleh surplus waktu yang tiba-tiba.

Merawat tanaman menawarkan proses, kasih sayang, dan kebahagiaan. Sehingga waktu serta perasaan kosong yang hadir bisa terisi. “Selagi berkebun, saya sangat menikmati proses. Mulai dari berkecambah, berdaun, dan berbunga. Belum lagi, saat kita harus merawatnya dengan memperhatikan air, sinar matahari, dan tanahnya. Menyaksikan prosesnya itu membuat bahagia,” kisahnya. Para peneliti dari Princeton University Amerika Serikat juga menemukan bahwa berkebun di rumah memiliki efek emosional atau kebahagiaan sama seperti bersepeda, berjalan, atau makan di luar.

Advertisement

Cheney Creamer dari Canadian Holticultural Theraphy Association dalam wawancaranya bersama Global News mengungkapkan berkebun adalah salah satu cara kita terhubung dengan alam. Selain menghilangkan stres, tubuh kita melepaskan zat kimia dan fitokimia ketika kita menyentuh tanaman. Hidup seakan melambat dan pribadi diajak melatih kesabaran akan sebuah proses. Hal itu juga membuat kita lebih sadar akan apa yang ada disekeliling, apakah itu rumput liar atau serangga kecil. Merawat tanaman memiliki manfaat berbeda untuk kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis. Ini yang diperlukan masyarakat kota dimana hidupnya berjalan serba cepat dan sering merasa tertekan.

 

 

Semua bisa berkebun. Konsep berkebun atau pertanian diperkotaan tidak punya penerapan mutlak. Tidak ada satu cara penerapan yang benar. Semua tergantung konteks, dalam hal ini lahan yang tersedia serta komitmen dari pribadi yang akan berkebun. “Urban farming pada dasarnya adalah berkebun di kota yang lahannya terbatas. Jadi mau itu di halaman depan rumah, balkon apartemen, atap atau bahkan tembok sekalipun, kecil, besar, luas, sempit semua bisa disebut urban farming. Selanjutnya, pribadi yang ingin berkebun harus bisa mendedikasikan sedikit tenaga dan waktunya untuk berkomitmen,” papar Soraya Cassandra atau biasa dipanggil Sandra, petani kota dan salah satu penggagas Kebun Kumara, yaitu sebuah kebun belajar di tengah kota.

Urban Farming juga dapat hadir pada ranah desain arsitektur. Keberadaan tanaman berfungsi sebagai penghijauan selain sebagai dekorasi. Mengingat urban farming juga menjadi salah satu solusi bagi perubahan iklim. “Setiap tanaman bisa mengatasi iklim mikro dan menurunkan suhu. Memang tidak banyak dan signifikan. Namun setidaknya perbedaannya bisa dirasakan dalam cakupan lingkungan ruang dan rumah sendiri. Selain itu, hasil dari kebun bisa dinikmati dan dikonsumsi,” jelas Sigit Kusumawijaya seorang arsitek dan co-founder Komunitas Indonesia Berkebun.

Visi jangka panjang urban farming adalah untuk mewujudkan ketahanan pangan. Belum lama ini urban farming digadang akan berperan penting dalam menyokong kemandirian pangan terlebih pasca wabah nanti. “Masyarakat bisa menghasilkan makanan dari lingkungannya sendiri. Bahkan ada kampanye grow your own food yang mengajak masyarakat untuk menghasilkan makanannya sendiri lewat menanam,” kata Sigit lagi.

Dampak urban farming untuk ketahanan pangan bergantung pada skalanya. “Kalau cuma satu dua rumah yang menanam sendiri, kemungkinan besar ia hanya bisa menghasilkan untuk dirinya sendiri, itupun tidak mungkin semua dari kebun tanpa membeli, apalagi dengan lahan yang kita miliki, juga kesibukan dari masyarakat kota yang sehari-harinya ada pekerjaan lain,” ujar Sandra. Namun jika satu dua rumah yang sudah mulai bisa memberi contoh ke rumah-rumah lainnya, terlebih adanya sosial media yang bisa mempercepat dan memperluas informasi. Maka, gerakan ini bisa semakin tumbuh. Seperti yang terjadi saat ini, sedikit demi sedikit mulai banyak orang yang mulai berkebun karena pengaruh sosial media dan karantina diri.

 

“Sedangkan jika skalanya sudah besar, lebih banyak orang yang mau berkebun, kita bisa membayangkan masyarakat yang barter hasil panen. Kalau pohon durian di rumah saya panen, tentunya sulit untuk dihabiskan cuma sama keluarga saya doang. Saya bisa barter dengan tetangga yang mungkin sedang berlebih buah rambutan. Semakin banyak yang berkebun, semakin banyak kesempatan untuk kita semua menikmati pangan lokal yang sehat, karena lahir sebagai wadah untuk saling memberi dan bertukar panen,” jelas Sandra lagi.

Seperti yang terjadi di Wellington Selandia Baru, masyarakat yang suka berkebun melakukan pertukaran hasil panen. Bahkan dibuat acara festival panen yang meriah lengkap dengan suguhan hiburan musik. Berkebun menjadi alat penyatu masyarakat. Mereka saling berbagi hasil satu sama lain, merayakan panen, dan berkumpul menikmati makanan yang dimasak bersama. Urban farming menjamah sisi lain di luar isu lingkungan, hobi, mengisi waktu luang, dan ketahanan pangan. Lebih dari itu, ada pembangunan komunitas di dalamnya.

Di Indonesia, kesadaran masyarakat Indonesia sudah meningkat. Urban farming dijadikan gaya hidup atau alternatif. Apa yang terjadi di Wellington, juga terjadi di Indonesia. Meskipun motivasinya belum karena kesadaran pribadi dari masyarakat maupun pemerintah. “Indonesia Berkebun beberapa kali membuat acara semacam festival panen dan responnya bagus. Namun, itu atas dasar komunitas dan skalanya tidak terlalu besar,” ujar Sigit. Ia mengakui kalau untuk mencapai tujuannya pada ketahanan pangan, perjalanan urban farming masih sangat jauh. Saat ini orang kota masih merasakan kemudahan mendapatkan sesuatu.

Jika dilihat dari banyaknya makanan yang manusia konsumsi sekarang, jelas urban farming tidak akan bisa memenuhi semua kebutuhan. Biasanya, kebun kecil di rumah hanya bisa memenuhi kebutuhan pangan sekitar 50 persen. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor seperti kondisi alam di daerah tertentu memang tidak cocok untuk menanam semua jenis makanan yang dibutuhkan. Hasil panen Kebun Kumara diupayakan mencukupi kebutuhan makan siang seluruh tim. Kebun Kumara tidak bertekad untuk menumbuhkan semua kebutuhan sendiri. “Karena itu mustahil dan justru bunuh diri. Mustahil karena SDM dan lahan kita terbatas. Bunuh diri maksudnya, menutup diri dari relasi sosial antara petani; tidak peduli yang di kota atau di desa. Karena dengan relasi ini kita dapat berjumpa dengan produk-produk lokal yang berkualitas,” katanya lagi.

Berkebun untuk ketahanan pangan bisa mulai diedukasikan pada anak cucu dimasa depan ketika benar-benar menghadapi krisis pangan. “Bagi saya yang terpenting tetap kesadarannya. Jika kita kembali terhubung dengan alam dan bagaimana proses makanan bisa sampai ke meja makan, kita bisa menjadi lebih peka dengan cara kita berbelanja, memilih produk, dan mengkonsumsinya,” ia menjelaskan. Maka dengan demikian, semua manusia bisa jadi lebih peka dan berpihak pada pangan lokal yang dihasilkan dari para petani. “Kita juga bisa mendefinisikan arti cukup dan bercermin pada tanggung jawab untuk lebih peduli pada alam,” tambahnya. Kerja panjang urban farming untuk lingkungan dan ketahanan pangan masih berjalan. Wabah COVID-19 bisa menjadi langkah kecil bagi kita untuk memulai, hingga sampai pada tujuan yang lebih besar, memenuhi ketahanan pangan secara mandiri. (WHY) Foto: Dok. Istimewa, Dok. Kebun Kumara, Sita Pujianto.

 

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Tips Memilih Kursi Makan yang Tepat dari IKEA

Next Post

Kampanye Semangat #BisaKuat untuk Anak Indonesia

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.