Dark Mode Light Mode
Dark Mode Light Mode

Rumah Cahaya: Karya Kolaborasi Eko Nugroho bersama Sang Putri

Melalui karya kolaboratif bersama sang anak di pameran TERASI, Eko menunjukkan bahwa seni bisa hadir dalam kehangatan rumah, serta warna-warna tropis yang membawa optimisme.

Di ruang pamer bertajuk TERASI (Teras Inspirasi) yang merupakan kolaborasi SOVLO dengan sejumlah seniman, Eko Nugroho berdiri santai di depan instalasinya: rumah penuh cahaya, bordir, dan figur fantasi yang seolah mengajak siapa pun untuk bermain. “Buat saya, berkesenian itu bermain,” katanya. “Dan bermain itu menyenangkan. Itulah yang meyakinkan saya bahwa berkesenian harus dimulai dari kegembiraan.”

Ungkapan ini bukan sekadar metafora. Bagi Eko, seni adalah permainan yang lahir dari dua kutub: dunia imajinatif (komik, monster, robot, dan warna-warna tropis yang khas dalam karyanya) serta kenyataan sosial yang kompleks. “Karya saya adalah kombinasi antara fantasi dan situasi sosial,” jelasnya. “Visualnya memang tampak lucu, kadang kartunal, tapi temanya seringkali cerminan dari realitas sosial yang ingin saya tangkap, saya cermati, dan saya kritisi.”
 
 
Ketika Seni dan Keluarga Menyatu

Proyek TERASI menjadi ruang yang spesial bagi Eko karena kali ini ia berkolaborasi dengan anaknya, Tika. Bersama, mereka menciptakan karya instalasi “Rumah Cahaya” yang terdiri dari bordir, boneka, dan permainan cahaya yang mengisi seluruh ruangan. Di dalamnya, ada karakter buatan sang anak bernama Uwo Uwo, figur yang menjadi medium pertemuan dua generasi.

Advertisement

“Ini pertama kalinya saya kolaborasi secara resmi dengan anak saya,” cerita Eko. “Tapi sebenarnya sejak kecil mereka sudah terbiasa mencorat-coret gambar saya, hidup bersama studio saya, ikut bermain dan merusak karya saya.” Ia tertawa saat mengingatnya. Bagi Eko, berkesenian dan menjadi ayah adalah dua hal yang tidak harus terpisah. “Keluarga bisa jadi kekuatan dalam berkesenian. Ini bukan soal batas antara ruang pribadi dan ruang kerja. Ini tentang hidup yang menyatu.”

Bahasa Visual sebagai Jendela Sosial
Yang menarik dari karya Eko adalah bagaimana ia menyampaikan kritik tanpa menjadi pengkhotbah. Ia percaya bahwa seni harus tetap cair, artinya seni itu mampu menyentuh semua lapisan masyarakat tanpa menggurui.

“Saya selalu mengembalikan posisi saya pada berkesenian,” katanya. “Karya saya boleh mengkritik, bercerita, atau memberikan gambaran kejadian nyata, tapi semua saya sampaikan lewat bahasa yang visual, lembut, bahkan jenaka.”

Dari figure-figur monster hingga bordir, dari robot hingga cahaya, Eko menyusun narasi yang terasa personal tapi tetap terbuka bagi interpretasi siapa saja. “Saya ingin menciptakan karya yang mungkin terlihat playful, tapi bisa menyentuh lintas generasi,” ujarnya. “Bahwa kekuatan perempuan, anak-anak, atau suara-suara kecil itu bisa punya tempat tanpa harus bersuara keras.”
 
Konsistensi di Jalur Seni
Seperti banyak seniman lainnya, Eko pun tidak luput dari kejenuhan. “Ya, kadang jenuh berkarya, jenuh sama seni. Itu manusiawi,” akunya. Tapi ia tidak memaksakan produktivitas. Ia membiarkan diri kembali pada hal-hal yang ia sukai, seperti mendengarkan musik atau berkunjung ke pameran teman. “Saya senang berdiskusi sama seniman muda juga. Itu menyegarkan.”

Dalam dunia yang semakin bising, penuh opini dan polarisasi, Eko memilih tetap berada di jalur seni yang jernih. Tanpa kemarahan berlebihan, tanpa jargon yang keras. Ia membiarkan bahasa visualnya menjadi ruang dialog yang cair dan jujur; seperti cahaya yang merambat perlahan ke dinding, mengisi ruangan tanpa suara, tapi tetap terasa hangat.
 
Seni yang Egaliter
Instalasi “Rumah Cahaya” adalah bukti bahwa seni tidak harus elitis. Karya Eko bisa dinikmati sebagai instalasi, tapi juga hadir dalam bentuk boneka, bordir, dan produk kolaboratif yang bisa dibawa pulang. “Saya percaya medium harus familiar,” katanya. “Bordir, batik, animasi… semua itu ada di sekitar kita. Dan justru itu kekuatannya.”

Dengan bahasa visual yang inklusif, Eko Nugroho tak hanya mengajak kita untuk melihat, tapi juga untuk merasa. Bahwa dunia bisa dikritisi tanpa dibenci, dan bahwa bermain bisa menjadi bentuk paling jujur dari keberanian.
 

***

Kolaborasi ini menjadi bagian dari TERASI (Teras Inspirasi), sebuah program tahunan yang digagas oleh SOVLO sebagai rumah ilustrator lokal. Tahun ini, TERASI menghadirkan 54 ilustrator dari seluruh Indonesia dalam pameran seni, workshop, immersive experience, hingga art market yang terbuka untuk umum. Mengusung tema 5PECIAL FOR YOU, acara ini juga menjadi penanda ulang tahun kelima SOVLO sebagai ekosistem kreatif yang terus mendorong ilustrator lokal untuk tidak hanya berkarya, tapi juga memonetisasi hasil karya mereka secara berkelanjutan.

TERASI merupakan sebuah perayaan kreativitas sekaligus platform yang menjadi tempat bagi para kreator untuk menunjukkan narasi mereka, memperluas makna dari keberagaman visual Indonesia, dan membangun pijakan ekonomi kreatif berbasis ilustrasi yang kuat. Dalam ruang ini, karya Eko dan Tika tidak hanya berdiri sebagai instalasi, tapi juga sebagai simbol harapan: bahwa seni yang jujur, lentur, dan membumi akan selalu menemukan caranya menyentuh banyak hati.

Teks: Mardyana Ulva
Foto: dok. SOVLO

 

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Menafsir Seni Menggunakan Pendekatan Sensoris Bersama Nindityo Adipurnomo

Next Post

Montblanc Bohème, Semangat La Femme Bohème dalam Keanggunan Jam Tangan

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.