Dark Mode Light Mode
Dark Mode Light Mode

Yayasan Relawan Agats (RAGATS): Kolaborasi Seni untuk Asmat

Relawan Agats (RAGATS)

Seni ukir kayu Asmat telah diakui dunia sebagai warisan budaya yang tak ternilai. Namun sedikit yang menyadari, di balik mahakarya tersebut, masyarakat penciptanya masih bergulat dengan persoalan dasar: mendapatkan air bersih untuk kehidupan sehari-hari. Pameran 'Hope for Asmat' yang digelar baru-baru ini mencoba menyoroti kedua aspek ini sekaligus – melestarikan tradisi sekaligus mengatasi masalah mendesak.
 
Penanda Tradisi dan Memori Kolektif
Seni bukan sekadar ekspresi estetis dalam kehidupan masyarakat Asmat, melainkan nadi yang menghidupkan tradisi dan memori kolektif mereka. Setiap pahatan pada mbis poles yang menjulang merupakan penanda memori suci yang mengabadikan perjalanan arwah leluhur, sementara perisai perang yang dihiasi motif rumit berfungsi sebagai catatan sejarah visual suku yang ditorehkan pada kayu. Bahkan kano tradisional yang diukir indah tak pernah sekadar menjadi alat transportasi, melainkan jelmaan simbolisme perjalanan hidup manusia Asmat itu sendiri.
 
Yang lebih mengagumkan, seluruh kreasi penuh makna itu lahir dari tangan-tangan terampil yang mencipta dengan kapak batu, tulang, dan gigi hewan. Keterampilan ini membuktikan bahwa seni sejati tak memerlukan alat canggih, melainkan kepekaan jiwa dan ketekunan tangan yang menyatu dengan alam.

Kendala Akses Air Bersih
Di balik kekayaan budayanya, masyarakat Asmat menghadapi tantangan serius terkait akses air bersih. Kondisi geografis berupa tanah rawa yang asin membuat penggalian sumur menjadi sulit, sementara sumber air terdekat seringkali terkontaminasi. Perubahan iklim juga berdampak pada pola hujan yang tidak menentu.
Menanggapi kondisi ini,  sepanjang tahun 2024 Yayasan Relawan Agats (Ragats) telah membangun 18 unit penampungan air hujan di tujuh kampung di Agats, distrik yang berada di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Selatan, Indonesia.  Meski demikian,  jumlah tersebut belum memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat Asmat dan masih banyak desa  yang belum memiliki fasilitas penampungan air bersih.

Dialog Antara Budaya dan Modernitas

Advertisement

Sebagai upaya lebih lanjut, Ragats pun menggelar sebuah pameran yang menghadirkan ragam kesenian rakyat dari Asmat untuk penggalangan dana. Berkolaborasi dengan The Pakubuwono Development sejumlah karya seni seperti ukiran kayu, patung, lukisan, dan fotografi pun hadir dan dilelang dalam acara bertajuk "Hope for Asmat: Meniti Hari, Menata Mimpi", yang dihelat akhir Mei lalu di Bumi Pakubuwono.

Pameran ini menciptakan dialog antara budaya tradisional dan lingkungan perkotaan yang modern. Foto-foto kehidupan sehari-hari di Asmat dipajang di dinding Bumi Pakubuwono, sementara karya seni tradisional berinteraksi dengan arsitektur modern bangunan ini.

Acara "Hope for Asmat: Meniti Hari, Menata Mimpi" di Bumi Pakubuwono ini diharapkan mampu menjadi jembatan antara seni, kemanusiaan, dan aksi solidaritas nyata sesama anak bangsa, sekaligus sebagai pengingat bahwa kepedulian kolektif dapat mengubah kehidupan. 

Teks dan foto: Mardyana Ulva
 
 

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

“The Jakarta Salon”: Menelusuri Kisah Sang Patron Seni Alexander Papadimitriou

Next Post

XPENG G6: Elegan di Setiap Detik, Cerdas di Setiap Kilometer

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.