
Museum MACAN membuka pameran perdananya tahun ini, 26 Februari 2020. Tak cuma satu, tetapi dua sekaligus. Pertama ialah karya seni performans dari seniman Melati Suryodarmo bertajuk “Why Let The Chicken Run?”. Selain itu, Museum MACAN juga menghadirkan instalasi video “Manifesto” karya Julian Rosefeldt.
Kedua seniman ini dipilih karena medium yang mereka hadirkan belum banyak ditampilkan di museum-museum di Indonesia. “Video dan seni performans adalah tulang punggung dari kesenian kontemporer. Namun di Indonesia kedua medium ini masih belum banyak ditampilkan di dalam museum. Padahal seni audiovisual dan seni performans tumbuh dan punya sejarahnya sendiri di Indonesia,” jelas Direktur Museum MACAN Aaron Seeto dalam kesempatn konferensi pers.
Aaron juga menjelaskan, kehadiran dua pameran ini di Museum MACAN bertujuan untuk memberikan pengalaman baru bagi para pengunjung. Sebab medium yang digunakan kedua seniman mendorong pengunjung untuk ikut mengalami langsung karya-karya yang dipamerkan.
“Why Let The Chicken Run?” misalnya yang akan menampilkan karya-karya seni performans gubahan Melati Suryodarmo. Pada kesempatan yang sama, Melati menjelaskan kunci seni perfromans ini adalah pengalaman antara seniman dan pengalaman tubuhnya, yang kemudian mempengaruhi bagaimana khalayak mengalami kesenian yang ditampilkannya.
Ada 12 performans yang akan dihadirkan Melati selama tiga bulan pameran dengan durasi bervariasi. Mulai dari 15 menit dan 12 Jam. “Durasi yang panjang itu adalah cara seniman performans memberikan ruang bagi proses, untuk memperlihatkan sisi imajinasi, politik, dan sebagainya yang mendasari karya tersebut,” jelas Melati.
Keduabelas seni performans yang dihadirkan dalam pameran ini merupakan hasil kurasi dari praktik kekaryaan Melati selama 20 tahun. Namun, Melati menegaskan bahwa pameran ini bukanlah pameran retrospektif. “Akan tetapi ini menjadi semacam arsip untuk menjelaskan konteks situasional saat saya membuat masing-masing karya,” lanjutnya.
Maka bersama dengan itu, Melati juga akan turut memamerkan satu seri foto, satu gambar, dan object witness atau benda-benda yang pernah digunakan Melati dalam melakukan seni performans.

Menyulut Kemarahan Intelektual
Pengalaman menonton juga menjadi poin utama instalasi “Manifesto” oleh Julian Rosefeldt. Pertama kali dipamerkan pada 2015, Julian mengkolase ragam manifesto dan menjadikannya 13 monolog yang dibacakan oleh aktris pemenang Piala Oscar Cate Blanchett.
Tak sekadar merancang monolog. Julian lantas menerjemahkan gabungan larik-larik manifesto tersebut menjadi sebuah karakter dan latar situasional mereka yang ditampilkan dengan pendekatan sinematis. Ketiga belas video itu diputar secara simultan dalam satu ruang galeri.
Pengunjung dapat menonton satu per satu dan mencerna masing-masing manifesto yang dibacakan Cate dalam karakternya. Atau cobalah berdiri di tengah ruangan ketika ketiga belas karakter Cate Blanchett menatap langsung ke kamera dan seluruh manifesto yang ia bacakan tumpang tindih satu dengan yang lain. Rasanya mungkin sama dengan ketika Anda membaca lini masa media sosial saat setiap orang saling mengadu paham satu dengan yang lain.
Ada sekitar 54 manifesto yang dipilih Julian untuk membuat 13 monolog ini. Mengapa 13? “Setelah 25 tahun berkarya, saya belajar untuk mempercayai insting. Jadi untuk menjelaskan mengapa satu hal dibuat demikian saya pikir karena itulah yang menurut saya akan bisa berbicara secara maksimal kepada khalayak,” jelas Julian dalam sesi wawancara.
Dalam merampungkan instalasi ini, Julian menceritakan dibutuhkan setidaknya satu tahun untuk membuat instalasi video ini. Ia mengerjakan dua hal secara paralel Pertama, membaca dan memilah manifesto-manifesto mana saja yang mesti digunakan. Kedua, adalah merancang karakter dan situasi untuk menyampaikan manifesto yang dibuatnya. “Pahami bahwa saat itu saya mencari karakter dan situasi untuk menyampaikan sebuah dialog,” jelasnya.
Maka karakter-karakter dan situasi yang dipilih antara lain, Ibu yang sedang memimpin doa, guru yang sedang mengajar, koreografer yang sedang mengarahkan latihan, pembacaan eulogi, dan lain-lain.
Lewat instalasi video ini, Julian ingin mengingatkan dan memantik kembali kreativitas dan intelektualitas khalayak. Atau dalam bahasanya, “kemarahan intelektual”. “Ada begitu banyak kemarahan dalam manifesto-manifesto ini,” ujar Julian pada sesi kuliah umum di Goethe Haus, malam sebelumnya. Dan menurutnya hal ini penting untuk menghadapi perkembangan paham-paham populisme di berbagai belahan dunia. (SIR). Foto: Museum MACAN.