
Di tengah dunia yang terus bergerak cepat dan bising, sering kali kita lupa untuk benar-benar melihat. Kita menyerap begitu banyak hal, tapi jarang memberi waktu untuk meresapinya. Padahal, dalam pelambatan, justru terbuka ruang untuk hadir, untuk menyentuh sesuatu yang barangkali selama ini luput: keheningan, pengalaman inderawi, dan pertemuan yang utuh dengan karya seni.
Lokakarya bertajuk “Mindful Gaze” bersama Baseline Studio membuka ruang tersebut. Dipandu oleh seniman senior Nindityo Adipurnomo, sesi ini bukan sekadar ajakan untuk mengamati karya secara estetis, melainkan latihan kontemplatif. Melalui pendekatan sensoris, peserta diajak mengalami seni bukan lewat pikiran terlebih dahulu, tapi lewat tubuh, memori, dan imajinasi; sebuah proses yang lebih lambat, tapi justru lebih dalam.
1. Tataplah dengan sabar
Langkah pertama dimulai dengan keheningan. Kita diminta memperlambat langkah, lalu memilih satu objek dan menatapnya dalam-dalam. Bukan untuk menganalisis, tapi sekadar hadir dan mengamati. Di tahap ini, mata menjadi medium antara dunia luar dan dunia dalam. Tatapan yang sabar bisa menjadi jembatan menuju kesadaran: mengendapkan yang tampak menjadi yang terasa.
2. Undang ingatan
Perlahan, objek yang dilihat mulai memanggil sesuatu dari dalam diri: kenangan, kebiasaan, bahkan trauma atau keintiman. Di sinilah kita menyadari bahwa persepsi tak pernah benar-benar netral. Setiap bentuk punya jejak. Setiap warna bisa membuka pintu memori. Apa yang kita lihat hari ini, sering kali terhubung pada apa yang sudah pernah kita alami.
3. Biarkan imajinasi tumbuh
Lalu muncullah ruang imajinasi. Sebuah ruang di mana objek tak lagi statis, melainkan lentur oleh tafsir. Di titik ini, kita bebas berfantasi: membayangkan kemungkinan, menciptakan narasi, bahkan menyematkan makna yang barangkali tidak pernah dimaksudkan penciptanya. Benda yang diam menjadi hidup, menjadi cerita, menjadi cermin dari diri kita sendiri.
Tetapi sebelum semua itu, pengalaman dimulai dari menyentuh yang sederhana: melihat, meraba, mencium, atau mendengar. Kita tidak bisa menafsir sebelum memberi waktu untuk merasakan. Latihan seperti ini bukan hanya tentang cara baru memahami seni, tapi juga cara baru memahami kehidupan: bahwa makna tak selalu datang dari penjelasan, tapi dari pengalaman yang jujur dan hadir sepenuhnya.
Dan barangkali, di zaman yang serba cepat dan instan ini, membiasakan diri untuk melihat dengan sadar adalah bentuk perlawanan yang paling lembut namun bermakna
Penulis: Najlaa Kamilia Rizaldi
Editor: Mardyana Ulva
Foto: dok. DEWI