
Ada tempat-tempat di Bali yang tak sekadar dibangun, tapi tumbuh bersama waktu dan kenangan. Di Tabanan, salah satunya hadir dalam rupa Kinar Village, sebuah area agrowisata yang dulunya hanyalah hamparan hijau biasa, kini menjadi ruang belajar hidup tentang bagaimana tradisi dan keberlanjutan bisa saling mengakar.
Kebun Pertanian Organik

Kinar Village tumbuh dari sebidang sawah di Tabanan dan satu niat yang sederhana namun mendalam: menjaga yang perlahan menghilang. Di tengah percepatan pembangunan yang nyaris tak memberi ruang untuk jeda, Yayasan Kinar Pustaka, bersama Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan Bali Organic Association, memilih untuk memperlambat langkah, memperhatikan, dan merawat demi keberlanjutan.
Di Kinar Village pulalah, Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, MS dari Universitas Udayana, Bali, memperkenalkan sistem pertanian organik yang ia namakan Sabicaitala. Singkatan dari sapi, biogas, cacing tanah, ikan, tanaman organik, lebah, dan agrowisata, sistem ini mengikat tujuh elemen menjadi satu ekosistem utuh, yang masing-masing saling menguatkan, bukan berdiri sendiri. Sejak 2018, lahan ini menjadi salah satu kebun organik murni di Bali, sekaligus ruang terbuka bagi mahasiswa dan pelajar dari berbagai negara Asia.
Sabicaitala: Hidup yang Terhubung
Di sini, setiap pagi, sekitar 25 hingga 30 kilogram kotoran sapi dicampur air, diaduk sampai encer, dan dimasukkan ke tangki fermentasi yang tertanam di bawah tanah. Proses ini menghasilkan dua lapisan: yang atas akan jadi pupuk dan pakan cacing, sementara yang bawah diolah menjadi biogas. Api biru yang menyala hingga enam jam dari proses ini adalah hasil dari hidup yang ditata pelan-pelan; stabil, senyap, tapi cukup.
Kolam ikan nila memanfaatkan sistem irigasi terbuka, suatu hal yang lumrah di daerah yang dekat dengan pantai. Di sekitar lahan, pepohonan buah sengaja ditanam bukan hanya untuk panen, tapi untuk memanggil lebah-lebah yang membantu penyerbukan. Tidak ada yang diciptakan tanpa fungsi di sini. Bahkan sisa kayu untuk pembakaran proses destilasi minyak citronella pun diolah menjadi biocharcoal, menyuburkan kembali tanah yang telah memberi kehidupan.
Citronella, Komoditas Utama
Citronella menjadi komoditas utama Kinar Village. Para pekerja memanen hingga 400 kilogram daunnya untuk kemudian didistilasi selama enam jam menggunakan tangki besar. Dari jumlah itu, hanya sekitar 2,5 liter minyak yang dihasilkan; angka kecil yang terasa besar jika memahami proses panjangnya.
“Perlu enam bulan sejak penanaman pertama untuk bisa panen,” jelas Pramudya, pemandu DEWI hari itu. “Setelah itu, tanaman akan tumbuh sendiri sampai empat tahun. Setelah itu baru kita tanam ulang.”
Di balik produk yang dihasilkan, sejatinya yang paling terasa justru adalah kesetiaan: pada musim, pada tanah, pada kerja diam-diam yang tak selalu terlihat hasilnya dalam waktu cepat.
Yang Bertumbuh di Ubud
Akar dari cerita ini sesungguhnya bermula bukan di Tabanan, melainkan di Ubud, di sebuah lahan yang telah dimiliki keluarga selama lebih dari tiga generasi. Di sanalah Bumi Kinar berdiri. Tempat ini menyimpan jejak masa kecil: pohon kelapa yang ditanam dengan tangan-tangan yang merawat, dan taman yang ditata perlahan oleh sang nenek, yang gemar membawa pulang bibit tanaman dari berbagai penjuru nusantara.
Tempat yang dulu menjadi titik kumpul keluarga besar itu kini menjadi rumah bagi siapa pun yang ingin kembali merasakan kehangatan yang terasa seperti pulang. Bumi Kinar bukan tempat yang dibangun untuk mengejutkan, tapi untuk mengingatkan: bahwa ada bentuk cinta yang bekerja diam-diam. Menjaga tanah, menjaga cerita, menjaga hidup agar tetap saling terhubung.
Kurva, Cahaya, dan Suara Alam

Bumi Kinar Skylight adalah area terbaru yang mempertemukan arsitektur masa depan dengan kesenyapan alam Ubud. Terinspirasi dari lekuk Sungai Petanu dan filosofi waktu yang mengalir, desain bangunannya mengadopsi garis lengkung yang organik; menciptakan ruang hidup yang tidak kaku, tapi lentur dan menyatu dengan lanskap sekitarnya. Di sinilah gagasan tentang hunian modern tidak bertentangan dengan alam, melainkan berjalan berdampingan: ringan, tenang, dan terhubung.
Setiap villa di Skylight memiliki identitasnya sendiri. Dari luar, tampilannya mungkin seragam, namun di dalam, tiap ruang menawarkan pengalaman sensorik yang berbeda. Villa yang menghadap langsung ke Sungai Petanu membiarkan suara air mengalun dalam nada-nada khas yang berubah mengikuti musim. Ada yang memeluk pemandangan air terjun musiman yang jatuh pelan dari tebing, ada pula yang berdiri tinggi menghadap lembah, menyambut burung-burung yang melintas kala fajar dan senja. Skylight bukan sekadar tempat tinggal, ia adalah cara baru untuk tinggal bersama waktu dan alam.
Teks dan foto: Mardyana Ulva