Pagi itu kami terbangun dari tidur yang tidak sepenuhnya pulas. Tadi malam suhu hampir mencapai 0 derajat Celcius, dan kebanyakan hotel di sepanjang Karakoram Highway, Pakistan tidak dilengkapi dengan pemanas ruangan. Kami baru melalui perjalanan tiga jam dalam gelap gulita dari Kota Gilgit, sehingga tidak punya bayangan seperti apa lembah Hunza yang melegenda itu. Yang saya tahu hanya tadi malam kami sampai di Kota Karimabad di Lembah Hunza.
Sebelah mata sambil mengernyit dahi, saya membuka gorden jendela, lalu bangun menuju pintu balkon. Kamar sederhana kami ini memiliki balkon yang besar. Belum sadar penuh, saya memberanikan diri untuk membuka pintu balkon meskipun yakin di luar sana kulit saya akan ditusuk-tusuk oleh dinginnya udara pegunungan Karakoram. Setidaknya, pagi itu sinar matahari sudah mengintip-intip tajam dari jendela.
Terkejut, di depan mata tiba-tiba ada bukit-bukit raksasa berwarna putih. Dua puncaknya menjulang tinggi seakan tak jauh dari balkon tempat saya berdiri. Di sebelah kanan, Puncak Rakaposhi setinggi 7.788 meter di atas permukaan laut. Dan yang persis di depan mata saya adalah Puncak Diran, 7.266 meter di atas permukaan laut. Belum sepenuhnya saya melihat Hunza, tapi pemandangan pagi ini sudah cukup mengusik adrenalin, sehingga tak sabar menjelajah lembah ini lebih jauh lagi.
Khyber Pakhtunkhwa
Hari ini adalah hari ke-5 perjalanan road trip kami menyusuri jalur legendaris Karakoram Highway. Perjalanan dimulai dari Islamabad menuju Naran, di mana terdapat sebuah danau glasial cantik bernama Saiful Muluk di ketinggian 3.224 meter di atas permukaan laut.
Perjalanan menuju Naran yang berada dalam provinsi Khyber Pakhtunkhwa (KPK) terbilang ngeri-ngeri sedap. Tidak hanya secara fisik melalu tebing-tebing tinggi yang curam, namun juga secara psikologis.
Belum berselang satu dekade, provinsi KPK ini tergolong provinsi yang rawan oleh Taliban. Mayoritas penduduknya adalah dari suku Pasthun yang juga suku terbanyak di Afghanistan. Kami melewati Kota Abbottabad, tempat Osama Bin Laden ditemukan dan dibunuh. Bahkan di kota ini pula kami sempat berhenti untuk sarapan.
Seperti halnya pemandangan di seluruh provinsi KPK, di kota ini kami tidak melihat perempuan seorangpun, baik itu di jalanan, pasar, bahkan di restoran. Semua pekerja adalah laki-laki, yang berbelanja juga laki-laki, pelayan dan tukang masak pun laki-laki. Saya bertanya pada Nawab, pemandu kami yang berasal dari Peshawar, kota terbesar di provinsi KPK. “Di mana perempuan-perempuannya?” “Mereka ada di rumah,” jawab Nawab. “Dalam budaya Pasthun, perempuan yang sudah dewasa memang tidak sewajarnya untuk keluar rumah, kecuali dengan suaminya, itu pun jarang.”
Saya bertanya lagi, “Lalu apakah mereka sekolah? Selain menjadi istri dan masak di rumah, apa pekerjaan yang bisa mereka lakukan?” Nawab menjelaskan bahwa perempuan Pasthun bisa bersekolah, bahkan tak sedikit yang menempuh pendidikan sarjana, meskipun pekerjaan untuk perempuan masih terbatas, yaitu menjadi guru, dokter atau pengacara.
Pagi itu kami yang “campur” laki-laki dan perempuan menikmati sarapan omelet, roti paratha dan chai di dalam ruangan khusus, terpisah dari laki-laki lokal berjenggot dan berpakaian Shalwar Kameez yang makan di teras. Luntur semua rasa takut dan khawatir, karena yang kami temukan di restoran itu justru senyuman, sapaan, rasa penasaran dan keramah-tamahan yang tulus dari semua orang yang kami temui. Dan ini ternyata kami rasakan di sepanjang perjalanan kami di Pakistan.
Lembah Naltar
Dari Gilgit kami menaiki mobil 4×4 menuju Lembah Naltar yang terpencil. Satu-satunya cara mencapai Naltar adalah melalui jalanan rusak selama tiga jam menyusuri sungai dan lembah-lembah yang terpahat bagaikan sebuah setting film kolosal.
Dari Desa Naltar, kami harus menempuh dua jam lagi umplak-umplakan melalui jalan batu dan menyeberangi sungai dangkal untuk sampai ke Danau Satrangi. Saya mencoba membayangkan Jeep 4×4 yang saya naiki ini adalah kuda, dan kami sedang berada dalam perjalanan kolosal bersama Frodo Bagins. Toh, alam yang kami lewati 11/12 dengan gambaran Middle Earth dalam film Lord of the Rings.
Sepanjang jalan kami menemui kawanan yak, domba pashmina, domba gunung, keledai, kuda liar, hingga Snow Leopard yang berada dalam penangkaran. Dalam dua jam perjalanan, kami seperti melewati berbagai musim dengan bioma yang berbeda, hutan pinus, tundra, hingga pegunungan salju. Semakin dramatis ketika salju mulai turun saat kami mendekati Danau Satrangi.
Danau Satrangi ternyata tidak terlalu besar, keistimewaannya adalah danau ini memiliki berbagai warna akibat pantulan dan alga yang tumbuh di dalam danau. Penduduk lokal menyebut danau ini memiliki delapan warna, saya hanya berhasil menemukan enam.
Hunza
Hotel kami tak jauh dari Baltit Fort, Istana Raja Hunza atau lebih dikenal dengan Mir Hunza. Istana ini sudah berdiri dari 700 tahun lalu, dan merupakan istana kedua yang dibagun di Hunza setelah Altit Fort. Keduanya memiliki arsitektur khas Tibet namun jauh lebih sederhana dari Istana Potala di Tibet. Yang tidak sederhana dari kedua istana ini adalah pemandang dari balkon utamanya. Boleh jadi Baltit Fort dan Altit Fort merupakan istana yang memiliki pemandangan paling indah di dunia.
Sorenya kami naik ke puncak Eagle’s Nest, di mana kami bisa melihat puncak-puncak tertinggi di Pegunungan Karakoram yang mengelilingi Lembah Hunza. Rakaposhi yang paling tinggi, bersebelahan dengan Puncak Diran, kemudian Spantik, Puncak Uttar di ketinggian 7.388 meter di atas permukaan laut, dan yang terdekat adalah Puncak Hunza dengan puncak Lady Finger yang menyerupai kelingking.
Budaya di Hunza terbilang unik dibanding daerah Pakistan yang lain. Mayoritas adalah dari suku Burusho yang berbahasa Burushaski. Bahasa Burushaski dikategorikan sebagai bahasa yang terisolasi, artinya tidak memiliki keterkaitan dengan bahasa manapun. Mereka beragama Islam Ismaili yang merupakan salah satu turunan dari Syiah.
Tidak seperti di provinsi KPK, orang Hunza lebih terbuka dan moderat. Tidak hanya alamnya saja yang luar biasa indah, para-paras warga Hunza pun seperti pangeran dan bidadari di negeri dongeng. Mereka berbola mata terang dengan kulit yang cerah, senyum mereka terlihat tulus dengan keramah-tamahan yang membuat minder. Mungkin jika ada pertanyaan mengenai daerah yang paling mirip gambaran surga, saya akan langsung menyebut Hunza.
Hunza pun baru benar-benar terhubung dengan dunia luar setelah dibangunnya Karakoram Highway, meskipun lama sebelum itu sudah ada Bangsa Yunani yang dinahkodai oleh Alexander Agung dan kemudian diikuti dengan jalur sutra.
Esoknya kami melanjutkan perjalanan ke Lembah Hoper. Sepanjang jalan mata saya tak lepas dari pemandangan di balik jendela mobil, sampil sesekali menganga. Pohon-pohon pinus yang menguning dengan kombinasi pohon aprikot yang bersemburat oranye kemerahan. Sungai berwarna toska, ditutup dengan latar belakang pegunungan salju yang runcing, ini seperti berada dalam mimpi.
Di Lembah Hoper kami disambut dengan makan siang mewah yang disiapkan penduduk lokal. Mereka banyak memasak masakan ayam, ada yang dibakar, dipanggang dan dibuat kari. Semuanya enak, meskipun masakan paling enak itu masih dipegang provinsi KPK. Salah satu atraksi utama area ini adalah Hoper Glacier yang memanjang hingga 18 kilometer dengan kedalaman lebih dari 500 meter. Untuk mencapai gletser, rute yang ditempuh cukup menyerap energi. Kita trekking menuruni terbing terjal selama kurang lebih 40 menit. Saya tak sanggup membayangkan jika glacier ini meleleh, tentunya akan ada bencana besar menimpa penduduk Lembah Hoper, bahkan, bukan tidak mungkin, seluruh Hunza.
Taman Nasional Khunjerab
Kami meneruskan perjalanan menyusuri Karakoram Highway ke arah utara. Sekitar satu setengah jam dari Karimabad dan setelah melalui terowongan Attabad sepanjang tujuh kilometer, tiba-tiba tersibak sebuah hamparan air berwarna toska yang dibentengi bukit-bukit batu menjulang bagai sirip ikan hiu.
Danau Attabad baru terbentuk tahun 2010 akibat longsor yang menutup aliran Sungai Hunza. Longsor ini menyebabkan banjir yang membuat 6.000 penduduk harus kehilangan tempat tinggalnya hingga danau ini terbentuk. Kami bermalam di tepi danau ini, di sebuah penginapan bergaya bungalow, sebelum kemudian meneruskan perjalanan hingga ujung Karakoram Highway yang ada di wilayah Pakistan.
Beberapa jam setelah melewati bukuit-bukit runcing Passu Cones yang ikonik dan jembatan Hussaini yang didaulat sebagai jembatan gantung paling berbahasa di dunia, kami sampai di Taman Nasional Khunjerab. Taman nasional ini merupakan wahana konservasi utama untuk Domba Marco Polo, domba raksasa dengan tanduk berputar seperti penjaga pintu neraka. Taman Nasional ini juga merupakan habitat utama bagi snow leopard.
Udara semakin terasa berat saat kami mulai mencapai ketinggian 4.693 meter di atas permukaan laut. Suhu pun turun hingga mencapai -12 derajat Celcius. Kami sampai di Khunjerab Pass, perbatasan antara Pakistan dan China yang hampir tidak dijaga oleh tentara, kecuali oleh barikade besi yang disusun seadanya. Pemandangan ini cukup kontras dengan perbatasan Pakistan – India di Wagah yang dijaga ketat.
Hubungan ketiga negara ini memang sangat unik. Pakistan bersahabat erat dengan China yang sedikit banyak mengisolasi India. Saya bertanya pada Nawab, “Dalam hidup kamu, apakah kamu akan melihat perdamaian antara Pakistan dan India?” Tidak butuh waktu panjang bagi Nawab untuk menjawab ‘tidak’, tanpa kemudian mengelaborasi dengan alasannya.
Sebelumnya saya sempat bertanya pada sahabat saya dari India, “Apakah kamu pikir Pakistan dan India akan berdamai?” Jawabannya adalah, “Selama Pakistan dan China masih bersahabat, sepertinya akan sulit.”
Teks & Foto: Indra Febriansyah