
Sejak pertama kali dibuka untuk umum pada Desember 2019, kawasan Hutan Kota Plataran yang berlokasi di dalam kompleks GBK Senayan telah mencuri perhatian banyak pihak. Kompleks yang terdiri dari Restoran Tiga Dari, Rumah Kaca Melati, dan coffee shop Pidari beserta taman publik ini tidak hanya menduduki lokasi yang sangat strategis, namun luasan lahannya pun sangat fantastis. Warga Jakarta yang haus akan tempat-tempat baru untuk dieksplorasi pun datang tak henti-henti, bak kumpulan semut mendatangi gula.
Sebagai sebuah Restoran Tiga Dari tentunya perlu mementingkan kualitas makanan dan minuman yang dihidangkannya. Namun tentu soal desain jangan sampai dilupakan. Seperti layaknya tempat baru di Jakarta, apakah berbentuk restoran, kafe, toko buku, dan lainnya, elemen desain tentu sangat diperhatikan dalam menyajikan spot-spot unik yang instagenik. Uniknya, di kawasan Hutan Kota Plataran, hampir seluruh area sangat mungkin dijadikan tempat berfoto. “Konsep Plataran adalah holistic hospitality. Disebut holistik karena orang yang datang akan mendapatkan mendapatkan pengalaman, selain ingin makan enak. Kami berusaha menciptakan ambience yang baik. Terbukti dengan banyak sekali orang berfoto di sini,” ujar Dewi Makes, yang mendirikan Plataran bersama sang suami Yozua Makes.
Untuk mengakses tempat ini, Anda perlu memasuki kompleks GBK melalui pintu-pintu utama yaitu pintu 5, 7 dan 10. Jika Anda pengguna transportasi publik MRT, sebuah pintu untuk pedestrian tersedia tak jauh dari lobi Garuda di area utama Tiga Dari. Ada tiga bangunan besar di lahan itu yaitu area dining utama Tiga Dari, function room yang berdinding kaca Melati, dan coffee shop Pidari. Selebihnya, Anda dapat menikmati alam terbuka. Kolam dengan bunga teratai yang mengapung di atasnya, instalasi seni, padang rumput yang luas, area bermain untuk binatang peliharaan kesayangan, dan sudut-sudut tak terduga yang ditata dengan cantik.

Sebuah tembok bata memanjang menyambut Anda ketika akan memasuki area Hutan Kota Plataran. Jalan kecil yang ‘dipagari’ pohon-pohon kemudian akan membawa Anda ke lobi restoran. Rasanya seperti memasuki sebuah gua lalu keluar melihat nirwana. Jalanan melingkar dengan sebuah kolam terpampang di depan bangunan utama. Kembali, tembok bata yang disusun maju-mundur secara artistik dan dibangun seperti terowongan menciptakan pembatas antara restoran dan area luar. Seolah menyembunyikan area restoran, hal ini menyajikan ruang pribadi untuk para pengunjung tanpa harus kehilangan akses cahaya natural sinar mentari.
Plataran Indonesia merupakan pengelola dari tempat ini setelah diundang bersama-sama dengan beberapa perusahaan F&B dan hotel terkemuka lainnya. Setelah melalui proses seleksi ketat yang dilakukan oleh panitia seleksi yang ditunjuk oleh Pusat Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Gelora Bung Karno (PPKGBK) dan Sekretariat Negara RI yang didampingi oleh Kantor Pengacara Negara, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk melakukan revitalisasi sehingga menjadikannya sebagai tempat yang merefleksikan budaya Indonesia sekaligus tempat yang representatif untuk jamuan bagi masyarakat dan tamu negara dengan makanan Indonesia. Dari total area Hutan Kota GBK 4,5 hektar, Plataran terpilih untuk merevitalisasi area seluas 3,2 hektar.

Budaya Indonesia diterjemahkan menjadi sebuah tagline yaitu Light of Nusantara. Inspirasinya datang dari alam, kebudayaan, sejarah, dan kejayaan Indonesia, begitu Dewi Makes bercerita. Konsep yang ia kembangkan bersama sang suami tersebut diwujudkan dalam bangunan, desain interior dan eksterior, pernak-pernik dekorasi, dan juga karya seni yang terdapat pada Hutan Kota Plataran. Menggandeng Hadiprana Design Consultant, proyek pembangunan area utama pun rampung dalam waktu 90 hari melibatkan 500 pekerja.
Hutan Kota Plataran penuh dengan simbolisasi yang dapat digali satu per satu. Dewi membagi cerita tentang Nusantara di sini dalam tiga zona yaitu Indonesia masa pendirian, Indonesia masa kini, dan Indonesia masa datang. “Di depan itu ada kolam Pancasila,” ujarnya. Di kolam tersebut terdapat lima pilar yang merepresentasikan lima sila Pancasila. Tak jauh dari situ, sebuah pohon beringin berdiri kokoh seakan memayungi kolam tersebut. Menurut catatan sejarah, proklamator Indonesia Bung Karno merenungkan falsafah negara ketika duduk di bawah pohon sukun. Hal ini yang menjadi inspirasi Dewi. Jika ingin mencari ide, mungkin tempat ini bisa dijadikan pilihan. Anda bisa duduk di batu besar yang diletakkan di bawah pohon beringin itu. Lambang sila-sila Pancasila pun dapat ditemukan pada pernak-pernik dekorasi. Memasuki pintu utama, medalion besar menyambut kami. Terlihat bentuk bintang di sana, yang merupakan lambang sila pertama. Di bawahnya, seekor banteng kecil, lambang sila keempat, berdiri.
Simbolisasi Indonesia masa pendirian berikutnya datang dari tanggal kemerdekaan kita, 17 Agustus 1945. “Di belakang ada Majapahit Tribute Park. Ada 17 totem di sana,” ia bercerita. “Di bagian depan, ada delapan tiang bendera.” Karena dipersiapkan untuk tempat perjamuan kenegaraan, tiang-tiang bendera tersebut sangat dirasa perlu. Sementara 45 direpresentasikan oleh 45 pohon ketapang yang ditanam di kanan dan kiri area lobi.

Indonesia masa kini diwujudkan dalam penyebutan ruang-ruang yang ada di sini. Area utama restoran yang disebut Tiga Dari terdiri dari dua lantai dan terdiri dari area dining bersama dan xx private rooms. Ruang-ruang tersebut dinamakan antara lain Garuda, Indonesia Raya, Nusantara, Merah Putih, serta nama-nama bunga seperti Dahlia dan Anggrek Bulan. Sementara Indonesia masa datang tercermin dalam instalasi Majapahit Tribute Park. Kerajaaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389 M). Bersama Gajah Mada, Hayam Wuruk berhasil menaklukkan hampir seluruh wilayah Nusantara dan menjadikan Majapahit sebagai kerajaan terbesar saat itu. Bahkan sampai memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Thailand, Singapura, dan Malaysia. Totem-totem yang berbentuk seperti lentera tesebut seakan menjadi sebuah harapan agar kejayaan yang sama menghampiri Indonesia kembali.
Sangat memedulikan kenyamanan, Dewi tak segan-segan mempersonalisasi segala sesuatu yang diperlukan Plataran dari mulai furnitur, lampu, hingga karpet. Jangan segan-segan untuk menoleh ke bawah, memalingkan pandangan ke atas, atau menengok ke kanan dan kiri saat berkunjung ke Hutan Kota Plataran. Anda mungkin akan melihat suatu karya yang punya cerita. Memasuki area restoran utama, lampu-lampu memberikan penerangan sekaligus memberi karakter tersendiri pada ruangan tersebut.
Bentuk lampu tersebut terinspirasi dari nekara (genderang) zaman perunggu yang ditemukan di Desa Pejeng, Bali. Di sela-sela lampu, terlihat untaian-untaian bunga. Sementara itu, ruang Merah Putih, yang dipersiapkan untuk jamuan kenegaraan, dihiasi dengan lampu berbentuk janur kuning. Hal ini dipilih karena janur kuning selalu menyertai perayaan-perayaan yang ada Indonesia.

Berjalan ke arah belakang restoran, di hadapan Anda akan menemui ruang Melati yang juga dikenal sebagai Glass House sementara jika Anda mengarah ke kiri, Anda akan bertemu dengan Pidari. Seperti namanya, seluruh dinding ruang Melati ini adalah kaca. Pengunjung dapat dengan puas menikmati pemandangan taman belakang, kolam yang luas dan totem-totem di Majapahit Tribute Park yang berdiri dengan kokoh. Ruang Melati dapat ditutup untuk umum dan digunakan untuk private event. Namun jika tidak ada permintaan, sehari-hari, area ini juga akan digunakan sebagai area restoran. Walau pemandangan di luar begitu menggoda, arahkan pandangan ke langit-langit. Kelopak-kelopak melati berukuran besar dari bahan rotan sintetis menutupi sebagian besar langit-langit ruangan. Bila matahari sudah terbenam, sinar lampu dari balik kelopak tersebut akan menciptakan pola-pola unik.
Hutan Kota Plataran juga memiliki jogging track yang juga dapat diakses oleh orang yang berolahraga dari luar restoran. “Kebanyakan dari mereka berakhirnya di Pidari,” cerita Dewi. Pidari diambil dari Bahasa Sansekerta yang berarti beristirahat sejenak. Dengan gaya yang lebih santai, didominasi unsur kayu, Pidari lebih menarik untuk crowd yang lebih muda. Terdapat area tempat duduk di luar yang berjenjang seperti sedang duduk di tangga. Di sisi lain, sofa-sofa dan kursi berukuran besar tersedia untuk memastikan kenyamanan. Sesekali terlihat ayam jenis mutiara berkeliaran di rerumputan. Ayam-ayam ini memang dipelihara oleh Plataran dan dibiarkan berjalan-jalan dengan bebas. Setiap sore, ada bird feeding time, kegiatan yang sangat digemari pengunjung anak-anak. Mereka akan berkumpul dan ikut berpartisipasi atau sekadar melihat proses ini.
Satu hal yang istimewa dari Pidari adalah lantai atasnya. Bentuknya seperti roof deck, karena tidak memiliki atap, namun rasanya tidak bisa dinamakan roof deck karena hanya naik satu lantai. Namun di sini Anda akan dapat menikmati pemandangan yang sulit dinikmati di tempat lain di Jakarta, langit metropolitan tanpa halangan. Setelah berolahraga pagi atau sore di GBK, mampir ke tempat ini untuk menikmati bubur ayam yang tersohor dan menikmati matahari terbenam di antara gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Tiada duanya.

Pengunjung juga dapat menikmati taman-taman sekitar tanpa melewati area restoran. Melewati terowongan bata di depan tadi, ada jalan setapak yang akan membawa mengelilingi area Hutan Kota Plataran. Ada batang pohon, yang dibawa dari Taman Nasional Bali Barat, yang dijadikan tempat duduk di pinggir jalan tersebut. Ada pula patung tiga bidadari setinggi kira-kira tiga meter.
Dewi menyebut outlet Plataran keenam di Jakarta ini sebagai urban park compound. “Ini kan memang bukan hutan. Kami mengelola hutan di Taman Nasional Bali Barat seluas 832 hektar. Di sana, kita bisa melihat hewan-hewan seperti jalak bali dan menjangan. Kalau ini (Hutan Kota Plataran) mungkin cocoknya disebut taman besar,” ujarnya. Apa pun sebutannya, Dewi tak tanggung-tanggung menanam 800 pohon yang sudah besar untuk menambah kekayaan hayati area hutan kota.
Selain itu, Plataran turut berperan pada upaya menjaga lingkungan. Di setiap sedotan yang diberikan untuk menyertai minuman terdapat tulisan yang menyatakan sedotan tersebut akan terurai dalam waktu dua tahun. Ada pula sistem pengolahan limbah water waste treatment plant (WWTP) dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di Plataran Senayan. Ini adalah sebuah sistem struktur yang dibangun untuk berfungsi mengolah limbah yang dihasilkan dari sisa hasil produksi dapur dan limbah domestik sehingga memungkinkan air tersebut menjadi bersih kembali dan dapat dipergunakan untuk menyiram rumput dan pepohonan di sekitar Hutan Kota Plataran.
Penggambaran tentang surga sering kali memiliki wujud sebuah taman. Plataran sendiri dimaknai sebagai tempat yang paling disukai Tuhan. Dewi ingin memastikan keadaan Hutan Kota Plataran sesuai dengan namanya, yang berarti hijau dan, pada waktunya, rimbun.
(NOFI TRIANA FIRMAN)
FOTO: DENNIE RAMON
PENGARAH VISUAL: ERIN METASARI