Dark Mode Light Mode
Dark Mode Light Mode

Menelusuri Turki Dalam Sekejap

Pandemi global COVID-19 mengakibatkan perjalanan panjang Glenn Prasetya menelusuri Turki mau tidak mau mesti dipersingkat. Tak perlu bermuram durja merapati nasib. Lebih baik waktu yang singkat tersebut dimaksimalkan untuk mengeksplorasi sudut-sudut kota

Formasi bebatuan yang unik dan perjalanan dengan balon udara panas membuat kota Cappadocia begitu populer. Foto panorama yang syahdu ini banyak sekali beredar di media sosial, membuat semakin banyak pengunjung dari berbagai dunia mendatanginya. Tercatat, pada periode Januari hingga November 2019, 3,7 juta wisatawan mengunjungi kota bersejarah ini.

“Perjalanan ke Turki sudah lama kami rencanakan,” cerita Glenn. Seperti biasa, tiket telah dari jauh hari ia pesan. Perjalanan pun telah dirancang sedemikian rupa oleh Yunita. Namun kala itu belum ada yang tahu bahwa akan ada pandemi yang merebak ke hampir seluruh dunia. Sempat adakeraguan juga sebelum mereka berangkat. Saat itu pandemi COVID-19 telah melumpuhkan Italia bagian utara.

“Bagaimana kami merealisasikan rencana perjalanan ini?” Begitu kira-kira yang ada di benak Glenn. Menjelang hari keberangkatan, berita mengenai penyebaran penyakit itu terus menerus mereka konsumsi. Bahkan berita tentang kasus positif COVID-19 di Indonesia dan di Turki akhirnya muncul. Mereka pun mengecek keamanan tempat-tempat tujuan di Turki secara berkala. Begitu pula penerbangan mereka. Diberitakan bahwa beberapa maskapai telah membatalkan sebagian penerbangan mereka ke destinasidestinasi tertentu. Setelah dicek, penerbangan mereka masih dianggap aman. Pilihan untuk menjadwalkan kembali pun tidak tersedia. Keputusan Glenn dan keluarga pun bulat. Mereka akan berangkat ke Turki!
 

Advertisement

Keluarga Prasetya berangkat ke Turki pada malam di tanggal 14 Maret. Saat itu Indonesia melaporkan ada 30 kasus positif COVID-19. Perjalanan cukup membuat was-was. Pasalnya, kala itu Yunita sedang sakit batuk. Mengetahui bahwa batuk adalah salah satu tanda COVID-19, Yunita pun memeriksakan diri ke dokter sebelum keberangkatan. Sampai di Istanbul, Turki, keesokan harinya, beberapa fakta menanti mereka.

Bisa dibilang perjalanan kali ini adalah perjalanan siap dengan segala konsekuensi. “Kami berangkat saja, nanti kalau tidak bisa masuk (ke Turki) kami langsung pulang,” ujar Glenn yang disetujui Yunita. Ternyata sesampainya mereka ke Turki, semuanya terlihat normal-normal saja. Rencana eksplorasi Istanbul di hari pertama tampak bisa dilewati tanpa hambatan. Berita baiknya, batuk yang semula dirasa Yunita langsung hilang tak berbekas. “Rasanya itu batuk stres,” begitu dugaannya.
 

 

 

Kehidupan di Istanbul berjalan seperti biasa. Tidak tampak tanda-tanda masyarakat yang sedang menjaga diri dari amukan pandemi. Padahal, berwisata saat mulai merebaknya pandemi, keluarga Prasetya telah siap dengan peralatan perang yaitu masker dan hand sanitiser. “Tapi hanya kami yang memakai masker,” kata Glenn. Karena itu, ada tatapan aneh yang datang menghinggapi. Beberapa anak kecil yang melihat mereka pun seperti mengolok-olok karena masker tersebut.

Di hari pertama, Taksim Square menjadi destinasi pilihan. Terletak tak jauh dari penginapan mereka, area ini adalah pusat rekreasi yang dianggap jantung Istanbul modern. Terdapat toko-toko, restoran, dan penginapan di area ini. ?stiklal Caddesi (Independence Avenue), jalan panjang dengan deretan toko-toko berakhir di alun-alun ini. Tak hanya untuk turis, Taksim juga area berkumpul favorit para penduduk lokal karena merupakan pusat transportasi kereta bawah tanah. Walau karena luasnya area, ini juga destinasi yang tepat jika warga mengadakan unjuk rasa.

Hal yang tak terelakkan terjadi juga. Glenn mendapat informasi bahwa penerbangan pulang mereka kembali ke Indonesia dibatalkan. Di waktu bersamaan, ada kabar dari tanah air bahwa Presiden Joko Widodo menyerukan kepada penduduk Indonesia untuk melakukan pembatasan sosial. Perubahan rencana pun harus segera dilakukan. Pesawat pulang ke Indonesia langsung mereka cari. “Kami mencari penerbangan langsung, yang tidak perlu transit,” Glenn bercerita. Hingga akhirnya didapatkan penerbangan tersebut, tiga hari dari saat itu. Sambil menanti waktu, penjelajahan dilanjutkan.
 

Metro dan tram menjadi transportasi pilihan ketika Glenn, Yunita, dan Gi, mengeksplorasi kota Istanbul. Di hari kedua mereka menjelajah ke dua bangunan bersejarah yang sangat termasyhur, Blue Mosque dan Hagia Sophia. Blue Mosque (Masjid Sultan Ahmed) dibangun antara 1609 dan 1616 pada masa pemerintahan Ahmed I. Hingga kini, masjid tersebut masih berfungsi sebagai tempat beribadah sekaligus menarik minat wisatawan. Interior masjid ini sungguh memukau. Dindingnya berlapis ubin biru yang dilukis dengan tangan. Saat hari sudah gelap, Anda dapat menikmati pemandangan lima kubah utama masjid, enam menara, dan delapan kubah sekunder bermandikan cahaya biru

Terletak di sebelah Blue Mosque adalah Hagia Sophia (Aya Sofya), situs wisata yang tak kalah populernya. Bangunan yang terkenal dengan kubah besarnya ini didesain untuk menjadi sebuah Katedral Ortodoks. Pecahnya perang, bergantinya kepemimpinan, membuat Aya Sofya berubah menjadi Katedral Katolik Roma selama lebih dari 50 tahun. Kurang lebih seribu tahun sejak dibangun, Aya Sofya kembali berganti peran menjadi masjid pada masa kekuasaan Kesultanan Usmani. Pada akhirnya bangunan ini dibuka sebagai museum pada 1 Februari 1935 oleh Republik Turki dan dapat dinikmati oleh semua orang, apa pun kepercayaan mereka.

“Sejarahnya luar biasa, sampai merinding mendengarnya,” begitu kata Yunita tentang bangunan yang dianggap sebagai pencapaian arsitektur Bizantium tersebut. Ia merasa damai melihat bagaimana dua simbol keagamaan, Islam dan Kristen, bersanding di satu gedung. Walau berganti dari gereja menjadi masjid, interior yang melekat dan menunjukkan tanda-tanda keagamaan sebelumnya tetap dibiarkan. “Menurut saya pribadi ini sikap yang sangat dewasa dan menginspirasi. Kita bisa menikmati sejarah itu secara utuh,” kata Yunita lagi.
 

 

 

Pamukkale, secara bahasa berarti kastil kapas. Kota yang masuk daftar Situs Warisan Dunia dari UNESCO ini terkenal sebagai kota spa sejak zaman dahulu karena memiliki sumber air panas yang kaya mineral. Disebut kapas karena warna batu kapur putih dan bekas aliran air selama ribuan tahun membentuk kolam-kolam yang digunakan sebagai tempat pemandian. Jika dilihat dari atas, area tersebut memang seperti awan, seputih kapas.

Area ini tak jauh dari penginapan Glenn, Yunita, dan Gi. Hanya seperti menyeberang jalan saja, sudah sampai ke situs ini. Ada beberapa tempat wisata lainnya yang bisa dikunjungi di kota ini, misalnya reruntuhan Hierapolis dan Laodikeia yang sangat Instagrammable.
 

Di kota ini, Glenn dan keluarga mulai melihat orang memakai masker. Pemerintah Turki pun mengumumkan agar warga melakukan pembatasan sosial. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia pun menyebarkan informasi bahwa penerbangan akan menjadi jauh lebih sedikit. Keputusan untuk langsung membeli tiket pulang terbukti sebuah keputusan yang tepat.

Perjalanan Glenn, Yunita, dan Gi sebenarnya masih jauh dari selesai. Dari Pamukkale, mereka seharusnya menuju ke Kayseri lalu ke tujuan utama, Cappadocia, dan kembali lagi ke Istanbul. Walau demikian, perjalanan ini tetap meninggalkan kesan yang tak akan terlupa. “Baru pertama kali pergi benarbenar tanpa persiapan. Semuanya serba lihat kondisi besok,” ungkap Yunita. Ini membuatnya tidak tenang karena biasanya mereka traveling dengan rencana yang matang dan pasti. Namun trip kali ini, dikatakan Yunita, “Benar-benar seperti naik roller-coaster.”

“Sebenarnya lebih ke beban moral takut jika kita terkena COVID-19 menularkan ke orang lain. Kalau kena sendiri, kan konsekuensi pribadi. Menularkan ke orang itu, bikin degdegan,” itu kata Yunita. Jika dapat berandai-andai pandemi COVID-19 telah berakhir, Glenn ingin kembali ke Cappadocia, mewujudkan rencana naik balon udara yang belum kesampaian. (NTF) Foto: Glenn Prasetya
 

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Bersama IWC Schaffhausen, Dongeng The Little Prince Berlanjut

Next Post

Review: Chanel Le Lift Flash Eye Revitalizer

Advertisement

Login to your account below

Fill the forms bellow to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.