
Ada sesuatu yang kotor di balik upaya menjadi bersih; dan Ardi Gunawan seolah paham betul hal ini. Dalam pameran tunggalnya yang bertajuk “Made Me Dirty” di ISA Art Gallery, seniman kelahiran 1983 ini membawa kita menyelami medan kerja yang berantakan secara fisik sekaligus simbolik. Ia menempatkan kekacauan bukan sebagai distraksi, melainkan sebagai metode. Seolah ingin berkata: kekacauan juga adalah bentuk berpikir.
Dikurasi oleh penulis seni rupa yang tahun ini juga kembali menjadi kurator tamu Art Jog, Hendro Wiyanto, “Made Me Dirty” menghadirkan karya-karya yang tidak tunduk pada keteraturan visual. Cat tidak lagi tinggal manis di atas kanvas; ia tumpah, mengalir, mengendap, menyerbu kehidupan sehari-hari. Lukisan-lukisan ini terasa seperti gerakan melawan: terhadap produktivitas yang kejam, terhadap rasionalitas yang dingin, terhadap tuntutan untuk selalu cemerlang. Di tengah dunia yang ingin semua serba bersih dan rapi, Ardi memilih untuk kotor, namun jujur.
Lelucon Sebagai Perisai, Kekacauan Sebagai Bahasa

Bagi Ardi, humor bukan sekadar bumbu, melainkan alat bertahan. Ia mengambil potongan citra dari Pinterest, iklan lawas, dan stok gambar komersial, lalu menyulapnya menjadi figur-figur ganjil yang akrab sekaligus menjengkelkan. Tidak nyaman? Memang. Karena itulah seninya bekerja: bukan untuk menyenangkan, tapi mengusik.
Dalam karya-karyanya, keterasingan dan absurditas tidak disembunyikan, melainkan dirayakan. Sebab, justru dari rasa tidak nyaman itu, perasaan paling jujur bisa muncul.
Dalam "Made Me Dirty" , figurasi jadi bentuk pembangkangan. Ardi tidak merayakan tubuh yang ideal, melainkan tubuh yang lelah, kikuk, penuh konflik, seperti halnya tubuh kita sendiri. Ia tidak takut menampilkan kejanggalan, karena di situlah realitas sesungguhnya bersandar. Ini bukan lukisan untuk dilihat, tapi untuk dirasakan; di perut, di dada, di bawah kulit kita.
Tentang Ardi Gunawan: Menerabas Batas Disiplin

Sebagai seniman transdisipliner, Ardi Gunawan bekerja lintas medium: dari lukisan, patung, video, hingga instalasi arsitektural. Ia mengolah bahasa rupa dengan pengaruh dari sejarah alam, fisika, filsafat, dan humor gelap yang halus. Ardi menyelesaikan BFA dan MFA di Monash University, Melbourne, dan sempat mengajar di Monash (Drawing) serta RMIT University (Landscape Architecture) pada 2010–2011. Kini, ia mengajar Desain Komunikasi Visual (DKV) di Universitas Pradita.
Karya-karyanya telah dipamerkan secara internasional, mulai dari Gertrude Contemporary di Australia (2008, 2009, 2025), National Gallery of Indonesia (2013), hingga Objectifs di Singapura (2017). Pameran tunggalnya Sleazy Environmentalism di Rubanah (2022) mengeksplorasi lanskap ekologis dengan pendekatan satir. Kini, "Made Me Dirty" menjadi kelanjutan narasi pribadinya, di mana cat, tubuh, dan dunia visual bertabrakan dalam medan yang tak bisa dikendalikan sepenuhnya.
Antara Kerapuhan dan Perlawanan
Meski ia dibentuk oleh disiplin desain dan arsitektur, relasinya dengan lukisan sangatlah badaniah. Melukis bagi Ardi adalah tindakan fisik, juga emosional. Di balik perannya sebagai dosen, sebagai "pekerja kerah putih", lukisan menjadi ruang liar tempat ia bisa melepas rapi, melepas kendali. Di sana ia menumpahkan keletihan, keraguan, bahkan kemarahan—semuanya dalam bentuk yang tidak selalu rapi atau masuk akal.
Dan mungkin di situlah makna terdalam dari "Made Me Dirty": sebuah pengakuan sekaligus perlawanan. Bahwa menjadi seniman bukan soal menjadi bersih, tapi tentang berani menyelami lumpur, menelusuri jejak, dan tetap menggambar meski tangan gemetar. Di tengah dunia yang terlalu cepat, terlalu visual, dan terlalu sibuk membersihkan citra, Ardi memilih untuk tetap kotor dan hidup.
Pameran seni karya Ardi Gunawan ini digelar di ISA Art Gallery selama periode 4 Juli-12 September 2025. Di pameran ini, sang seniman tampil mungkin pada versi dirinya yang paling personal sekaligus politis. Ia tidak mencoba menjelaskan dunia. Ia membiarkannya berantakan; karena di sanalah kita bisa mengenali diri. Karena terkadang, menjadi kotor bukanlah akibat dari kesalahan, tapi justru cara satu-satunya untuk benar-benar hidup di dunia yang terlalu sibuk membersihkan permukaannya.
Teks dan foto: Mardyana Ulva